Langsung ke konten utama

Postingan

Kaltara, Jangan Sampai Ganti Gubernur Ganti Sejarah

Dua hari lalu seorang teman mengajakku menjadi  tamu di  podcastnya. Ia ingin ngobrol-ngobrol santai tentang      "Sejarah Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara)". Katanya sih , iseng-iseng aja untuk  menambah ragam konten video di medsosnya. Dengan  halus  kutolak ajakan itu,  kukatakan aku  masih sibuk, kelak bila  ada waktu luang aku kabari segera: begitulah alasanku padanya. Padahal,   aku memang tidak berkenan  untuk datang.  Bukan karena aku sibuk, atau tidak menguasai materi itu, tapi topik  podcast yang ingin dibahasnya membuatku agak  "sensi'. Aku tidak ingin   ikut-ikutan menjadi orang yang ngotot ingin dikenang dalam  "lakon" sejarah pembentukan Provinsi Kaltara, apalagi " mempersoalkannya". Pun, aku tak ingin jadi bagian orang-orang yang masih "galau" dan "halu" oleh fantasia  atau romantika heroik masa lampau. Lagi pula, apa sih "urgensinya'  membicarakan sejarah pembentukan Kaltara hari ini ? Apa

Gila Kerja Sampai Gila, Hustle Culture To Burnout

Semua orang  harus kerja keras, meski orang kaya sekalipun. Kerja keras sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan gaya hidup kita. Namun, bukan berarti selamanya anda harus bekerja keras atau  hidup anda semata-mata hanya  bekerja. Anda perlu menata pergaulan sosial dan istirahat Anda agar hidup anda berkualitas dan bermanfaat tidak hanya untuk diri anda sendiri tapi juga untuk keluarga dan orang lain. Tapi, jika Anda seorang penggila  kerja  atau  workaholic , bisa jadi Anda terperangkap  gaya hidup   hustle culture . Orang dengan gaya hidup hustle culture merasa dirinya harus terus bekerja keras, merasa tidak perlu bersantai- santai dan buang buang buang waktu. Ia merasa dirinya lebih berharga, lebih rajin dan lebih bermafaat daribpada orang lain. Akibatnya, Huslte culture  tak baik untuk kesehatan baik fisik maupun mental. Tuntutan kebutuhan hidup yang ambisius membuat mereka mengesampingkan kesehatan diri sendiri. Apa Bahaya  Hustle Culture ? Jika terus dilakukan,  hu

NILAI BERITA

Nilai Berita Hai, pewarta warga merdeka! Kali ini, kita akan bicara tentang nilai berita atau new value. Apa sih yang dimaksud dengan nilai berita? Setiap hari di dunia ini ada milyaran peristiwa yang terjadi, tapi hanya peristiwa tertentu yang diliput dan diberitakan oleh media. Sebenarnya nilai berita itu tergantung dari sudut pandang si wartawan atau media, Apalgi anda sebagai pewarta warga punya kebebasan untuk menilai suatu peristiwa itu memiliki nilai berita. Tapi secara teori dan praktis jurnalis konvensional selama ini, ada beberapa elemen penting yang biasa digunakan untuk mempertimbangkan suatu peristiwa itu memiliki nilai berita, diantaranya sebagai berikut: Magnitude. Pengaruh suatu peristiwa bagi publik Significance. Penting atau menyangkut kepentingan orang banyak. Timeliness. Aktualitas, immediacy, ada unsur kebaruan. Proximity. Kedekatan peristiwa terhadap khalayak secara geografis, psikologis, dan ideologis. Prominence. Ketokohan atau keterkenalan yaitu melibatkan publ

UNSUR BERITA

Hai teman-teman pewarta warga merdeka. Setelah kamu memutuskan bahwa peristiwa itu memiliki nilai berita, selanjutnya kamu bisa membuat liputan atas peristiwa tersebut menjadi berita. Dalam membuat liputan berita ada beberapa elemen yang kamu harus wajib kamu perhatikan dan fahami, agar  berita yang kamu buat tidak sepotong-sepotong, kurang lengkap dan sulit difahami. Adapun unsur-unsur berita yang biasa digunakan adalah   5W1H, yakni: Who (siapa): siapa-siapa saja yang terlibat dalam kejadian/peristiwa; pelaku, korban, pemeran utama, peran pengganti, figuran, orang, lembaga, organisasi, pejabat tertentu, dan sebagainya. What (apa): peristiwa apa yang terjadi, kejadiannya apa, acara apa? When (kapan): kapan kejadiannya? Ini unsur waktu yang biasa ditulis dalam bentuk hari dan tanggal, misalnya, Senin (22/4/2020) Where (di mana): di mana kejadiannya? Ini tentang lokasi atau tempat acara. Misalnya, “di Depan Gedung Sate Jln Diponegoro  Kota Bandung . Why (kenapa) : kenapa peristi

Ditangkapkah Waloni Jika Tidak Ada Kasus Kece

Polisi menangkap  pendakwah  Yahya Waloni setelah sebelumnya menangkap Youtuber Muhammad Kece, keduanya sama-sama disangkakan  dalam kasus penistaan agama. Waloni, sebut aja singkatnya begitu, ditangkap Bareskrim Polri kemarin sore di Cibubur, 26 Agustus 2021, ia dinilai menista agama Kristen dalam ceramah yang menyebut kitab" Bible" itu palsu. Sedangkan Kece ditangkap dua hari sebelumnya di Bali, 24 Agustus 2021. Ia dianggap  menghina agama Islam karena dalam  unggahannya menyebut Nabi Muhammad dekat dengan  jin dan ajarannya tidak benar sehingga  harus ditinggalkan Salut! dan angkat jempol   kepada   kepolisian yang telah menangkap kedua terduga penista agama dan perusak tatanan    kerukunan beragama di Indonesia.  Meski demikian, tak  salah seandai  dalam benak ini  masih terganjal   oleh pertanyaan    terkait penangkapan itu. Misalnya,  kenapa  rentang waktu penangkapan Waloni  sangat berdekatan dengan penangkapan  Kece? Apakah Polisi sengaja  mencari momentum yang tepat

Antrean Itu Cermin Buruknya Disiplin Petugas

Sudah empat jam aku duduk di kursiku menunggu nama anakku dipanggil. Ternyata, datang dan mendaftar  lebih awal tidak menjamin dipanggil duluan. Urutan antrean peserta vaksinasi tergantung selera petugas. Yang baru tiba  bisa    langsung dilayani,   dan yang  mendaftar  belakangan bisa dipanggil lebih awal. Peristiwa  tidak elok ini  bukan yang pertama bagiku, pasalnya pada kegiatan vaksinasi dosis kesatu di awal bulan Juli lalu, aku juga mengalaminya. Esoknya, giliran membawa anakku pun merasakan  perlakuan yang  serupa.  Lanjut divaksinasi dosis kedua di awal Agustus lalu, aku dan kemudian bersama anakku pun mengalami hal yang sama.  Tidak ada yang bisa kulakukan, kecuali hanya menarik nafas dan berusaha memakluminya. Hari ini, kala membawa anak keduaku  untuk vaksininasi dosis pertamanya, pun lagak petugasnya masih seiras, malah kali ini lebih culas. Peserta vaksinasi yang sebelumnya dibatasi hanya seratus orang, hari ini  tumplek blek sampai enam ratus peserta. Alih-alih  protokol

Jurnalisme Warga, Preman Pun Tak Soal

Duhh!!! tak sengaja gerutu keluar dari mulutku ketika mendengar sejumlah orang  di dekatku menyebut-nyebut dirinya pengurus daerah salah satu organisasi  jurnalis warga. Keluhanku itu melanting  seiring dengan sinismeku  melihat perangai orang-orang,  yang menurutku  lebih pantas disebut  preman dari pada wartawan, ocehannya kasar  penuh ancaman,  topik  perbincangannya  tak jauh-jauh  dari perkara orang dan jumlah uang. Dalam pikiranku, lakon orang-orang itu bak episode "remake"  drama  wartawan "bodrex' yang pernah jadi tontonan,   orang-orang yang tak punya kompetensi jurnalistik  dan hanya bermodalkan identitas   kartu pers  abal-abal, kemudian  memaksa  orang untuk diwawancarai dan  dimintai uang. Hari ini ketika orang-orang itu belum juga  mencapai standar kompetensi, tak cukup syarat menjadi anggota  pers dan tak memiliki media terverifikasi Dewan Pers, maka   "Jurnalisme Warga" pun jadi permainan. Muncul forum atau  organisasi dengan label jurn