Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Opini

Honor Kematian, Nikmat Pejabat di Masa Pandemi

Terberitakan  sejumlah   pejabat mendapatkan honorarium ratusan juta rupiah dari pemakaman jenazah Covid-19. Bupati Jember  bersama Sekretaris Daerah (Sekda), Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logstik BPBD Kabupaten Jember menerima honor sebesar Rp 282 juta dari pemakaman jenazah Covid-19. Bisa dibayangkan  kematian warga akibat pandemi menjadi peluang yang menggiurkan bagi pejabat. Bencana bagi rakyat, cuan di kantong pejabat. Setiap pemakaman satu jenazah Covid-19, pejabat tersebut menerima Rp 100.000. Sementara jumlah warga yang meninggal karena Covid-19 di kabupaten tersebut cukup banyak. Alhasil, dari total pemakaman jenazah Covid-19, keempat pejabat ini mendapat honor sejumlah Rp 70,5 Juta per orang. Bupati Jember Hendy Siswanto telah  meminta maaf dan mengembalikan total uang yang diterimanya. Dia berdalih bahwa praktik honorarium anggota tim pemakaman itu sudah lama dilakukan, ia meneruskan saja. Dalam tim pemakaman jenazah 

Ditangkapkah Waloni Jika Tidak Ada Kasus Kece

Polisi menangkap  pendakwah  Yahya Waloni setelah sebelumnya menangkap Youtuber Muhammad Kece, keduanya sama-sama disangkakan  dalam kasus penistaan agama. Waloni, sebut aja singkatnya begitu, ditangkap Bareskrim Polri kemarin sore di Cibubur, 26 Agustus 2021, ia dinilai menista agama Kristen dalam ceramah yang menyebut kitab" Bible" itu palsu. Sedangkan Kece ditangkap dua hari sebelumnya di Bali, 24 Agustus 2021. Ia dianggap  menghina agama Islam karena dalam  unggahannya menyebut Nabi Muhammad dekat dengan  jin dan ajarannya tidak benar sehingga  harus ditinggalkan Salut! dan angkat jempol   kepada   kepolisian yang telah menangkap kedua terduga penista agama dan perusak tatanan    kerukunan beragama di Indonesia.  Meski demikian, tak  salah seandai  dalam benak ini  masih terganjal   oleh pertanyaan    terkait penangkapan itu. Misalnya,  kenapa  rentang waktu penangkapan Waloni  sangat berdekatan dengan penangkapan  Kece? Apakah Polisi sengaja  mencari momentum yang tepat

Antrean Itu Cermin Buruknya Disiplin Petugas

Sudah empat jam aku duduk di kursiku menunggu nama anakku dipanggil. Ternyata, datang dan mendaftar  lebih awal tidak menjamin dipanggil duluan. Urutan antrean peserta vaksinasi tergantung selera petugas. Yang baru tiba  bisa    langsung dilayani,   dan yang  mendaftar  belakangan bisa dipanggil lebih awal. Peristiwa  tidak elok ini  bukan yang pertama bagiku, pasalnya pada kegiatan vaksinasi dosis kesatu di awal bulan Juli lalu, aku juga mengalaminya. Esoknya, giliran membawa anakku pun merasakan  perlakuan yang  serupa.  Lanjut divaksinasi dosis kedua di awal Agustus lalu, aku dan kemudian bersama anakku pun mengalami hal yang sama.  Tidak ada yang bisa kulakukan, kecuali hanya menarik nafas dan berusaha memakluminya. Hari ini, kala membawa anak keduaku  untuk vaksininasi dosis pertamanya, pun lagak petugasnya masih seiras, malah kali ini lebih culas. Peserta vaksinasi yang sebelumnya dibatasi hanya seratus orang, hari ini  tumplek blek sampai enam ratus peserta. Alih-alih  protokol

Media dan Wartawan Netral

MASIHKAH BERHARAP MEDIA DAN WARTAWAN NETRAL ? Dengan senang hati, saya akan  mengatakan" TIDAK". Penilaian ini saya simpulkan  setelah  melihat fenomena pemberitaan media online maupun media konvensional dalam menyikapi pilkada 2020. Ada media  yang secara terang terangan menunjukan sikap keberpihakan, terutama media online. Ini bisa kita lihat  melalui isi, porsi dan orientasi pemberitaannya. Berita2 Media model begini banyak sekali bertebaran di grup Facebook. Ada juga  media yang secara tertutup dan halus menyembunyikan keberpihakan dengan masker profesionalitas, ini banyak dilakukan oleh media konvensional atau mainstream. Loh! Jangan dikira media dan wartawan profesional itu  identik dengan netralitas. Sebagai penulis berita, mereka sadar atau tanpa sadar tidak lepas dengan sikap keberpihakan. Sikap netral yang mereka katakan belum tentu dalam praktiknya menunjukan netralitas sebenarnya. Dalam banyak soal, netralitas itupun sering kali dianggap sebuah keberpihakan.(Kita

Mural 404:Seniman Tak Sembunyi Badan

Seandainya, mural  404: Not Found  dengan coretan gambar mirip wajah Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu sebuah karya seni dan bentuk kritik kepada pemerintah, kenapa seniman yang membuatnya harus bersembunyi dan takut? Bukankah mural yang ia buat itu ekspesi kritik artistik yang mengagumkan dan menggemparkan jagat politik tanah air. Kenapa harus sembunyi? Ini pasti jadi momentum yang seksi tuk meransang siapapun bakal viral dan terkenal karena mural itu. Akun media sosialnya bakal banjir trafik kunjungan dan follower baru. Ia akan jadi selebgram dan influencer yang banyak cuan, tawaran endorse bakal berdatangan. Ingin rasanya aku akui karya mural itu. Akulah seniman pembuatnya. Tapi niat itu aku urungkan, bukan karena takut ditangkap polisi, tapi malu aja kelak dianggap pembuat berita bohong atau "ngeprank" pak polisi, kaya nenek Ratna tetanggaku. Kenapa harus sembunyi? Akui aja mural fenomenal itu karyamu. Tidak perlu takut ancaman penangkapan, tak perlu cemas prasangka ya

Beda Nyiyir dan Kritik

"Jadi apa dong bedanya nyinyiran dan kritik?"tanya temanku, setelah menyeruput kopi panas di hadapannya. ' Simple saja, nyinyir tuh cara orang malas, kritik itu caranya orang cerdas" jawabku sambil tersenyum padanya. "Kok bisa'?"tanyanya lagi penasaran. Padahal ku harap   jawabanku tadi sebagai jawaban pamungkas   agar dia tidak bertanya lagi.Biarlah dia menterjamahkan sendiri apa yang kumaksudkan.Tapi, rupanya dia juga malas untuk berfikir. Sejak trend penggunaan media sosial seiring dengan dinamika politik tanah air, nyinyir dan kritik sering menjadi dua   istilah yang diperdebatkan. Padahal   nyinyir dan kritik itu merupakan   aktivitas pergaulan kita sehari- hari. Misalnya, di rumah kita sendiri, omongan orang tua dan anak-anaknya tidak lepas dua hal     itu. Setiap omelan orang tuamu pasti berisi nyinyiran dan kritik. Makna 'Nyinyir' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti 'mengulang-ulang perintah atau permintaan'; ny

PERUSDA, AKHIR DOSA TURUNAN

Bangkrut dan merugi sepertinya menjadi  dosa turunan  yang terus menggerogoti sejumlah perusahaan daerah (Perusda)  di berbagai daerah.  Mismanajemen atau tata kelola yang carut marut masih  menjadi biang dari persoalan inefisiensi dan  kecurangan (fraud) di tubuh Perusda.  Direksi yang tidak profesional, etos kerja yang buruk, terlalu birokratis, kurang memiliki orientasi pasar, tidak transparan, serta sarang korupsi, merupakan stigma buruk yang melekat kepada  Perusda selama ini Pada dasarnya,  tujuan dibentuknya   Perusda atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)  adalah untuk memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah, membantu pemerintah daerah  dalam pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan pasar, turut membantu pengembangan usaha kecil dan menengah, dan tentunya berfungsi sebagai salah satu penyumbang bagi penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak, dividen, maupun hasil privatisasi. Hal ini juga  ditegaskan dalam   Peraturan Pemerintah (PP) 54 tahun 2017 tentan

SIMBOL NASIONALISME TAK SEINDAH TELADAN PEMIMPIN

SIMBOL NASIONALISME DAN KETELADANAN Memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76, seorang kepala daerah di Kalimantan,  menghimbau kepada masyarakatnya  untuk   mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing sesuai dengan "Jumlah Anggota Keluarga".  "Ini salah satu bentuk kecintaan kita terhadap negara sehingga harus disosialisasikan agar dapat tertanam di dalam benak masyarakat" kata sang kepala daerah saat itu. Beragam reaksi pun  bermunculan, ada yang menjadikannya olok-olok dan candaan, banyak pula   yang meresponya dengan  nyinyiran dan kritikan. "Dipertanyakan,  relevansi     jumlah bendera yang dipasang    dengan   rasa  nasionalisme  warga  negara?". "Bayangkan! jika  sebuah warteg kecil  yang memiliki lima orang anggota keluarga,  harus  memasang lima bendera di depan wartegnya.  Tidakkah itu menjadi beban, dan   membuat warteg itu tertutup  oleh bendera dan tiang-tiangnya". Oleh sebagian warga

GENERASI YANG BERADAPTASI DENGAN KEUTAMAAN ZAMAN MEREKA SENDIRI

Generasi Yang Beradaptasi Dengan Keutamaan Zaman Mereka Sendiri Hari itu,  istriku mengatakan ia   akan ke sekolah anak-anakku untuk mengambil rapot kenaikan kelas   mereka. Terus terang, aku  sempat merasa aneh  ketika  mendengar kalimat "kenaikan kelas " dari mulutnya. Aku tercenung, dalam hati berkata " Gak salah ni, anak-anak sudah kenaikan kelas lagi?",  sambilku  mengingat-ingat    aktivitas belajar anak-anaku   dalam setahun ini. Tahun lalu, kejadiannya hampir sama. Meski hanya dua bulan  saja mereka belajar dan ujian dari rumah. Bukan aku meragukan  soal nilai dan kemampuan belajar mereka. Aku sangat tahu, karena saban hari   aku yang mendampingi    mereka belajar  di rumah. Bagaimana mereka menyelesaikan  tugas    dan  mengerjakan  setiap ujian sendiri . Intinya, tidak ada masalah  dengan nilai dan kemampuan belajar mereka di rumah.  Siswa yang tidak pernah ke sekolah kemudian naik kelas apalagi sampai dapat  rangking, dalam dalam pandanganku ka

PARADOKS PEMBATASAN

Kerumunan ribuan  orang di acara Peluncuran Satuan Tugas (Satgas) Detektor COVID-19 yang digelar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar di Lapangan Karebosi pada Jumat lalu (2/7/2021)  menjadi paradoks  di tengah  upaya pemerintah mencegah penyebaran Covid. Pemerintah, yang selama ini berkoar-koar agar  masyarakat menerapkan protokol kesehatan, menjaga jarak, melarang   acara resepsi pernikahan dan kegiatan lainnya yang berpotensi  menimbulkan kerumunan, pada kenyataan  menjadi  ceremony creator  yang paling banyak memproduksi  kegiatan yang mengundang kerumunan. Dalih bahwa setiap kegiatan  yang dilaksanakan telah menerapkan  protokol kesehatan  yang ketat, pada praktiknya tak sepenuhnya bisa dijamin. Contohnya di acara peluncuran tim detektor oleh Pemkot Makassar tersebut. Awalnya, kegiatan  itu  berjalan tertib, semua peserta diatur dengan  jarak tertentu. Namun kerumunan mulai terjadi saat hujan mengguyur. Para petugas yang baru diperkenalkan tiba-tiba  berlarian mencari tempat ber

PANSOS SANG AKTIVIS

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Leon Alvinda Putra melalui akun Twitter @BEM_UIOfficila  menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai the  king Of lips service dengan  ilustrasi satire Presiden Jokowi menggunakan mahkota raja. Dalam captionnya,  Leon beralasan Jokowi selama ini kerap mengobral janji manis tapi tak selaras realita. Mulai dari rindu didemo, revisi UU-ITE, penguatan KPK dan rentetan janji lainnya. Tak pelak, postingan mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis UI ini  menjadi trending topic di twitter yang kemudian menghentak emosi dan sentimen politis masyarakat di media sosial lainnya,  menciptakan magnitudo dua kelompok  pro  dan kontra. Mereka yang Pro memuji  Leon  Alvandi Putra sebagai mahasiswa yang kritis dan berani, menilai postingan itu ada benarnya, sehingga wajar sebagai aktivis mahasiswa, Leon  menunjukan  bentuk kepedulian  terhadap perbaikan bangsa .  Sedangkan mereka yang kontra, terutama dari para pendukung Jokowi, mengecam

Pembenci Jokowi Anti Toleransi

Kebencian sekelompok orang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), diyakini bukan hanya persoalan politik semata. Bukan pula hanya  karena jagoan calon presiden kelompok mereka kalah, atau tak  lagi punya kuasa. Tapi lebih dari itu, karena  kebencian akut  mereka kepada Pancasila. Sosok Jokowi, oleh kelompok pembenci ini dianggap   sebagai  representasi  pemimpin  yang teguh menjaga dan melindung  Pancasila. Ia dipandang sebagai  trigger  besarnya kekuatan rakyat yang menghalangi  dan menghentikan masuknya  gerakan radikalisme, khilafah  dan  NKRI syariah, yang selama  sepuluh  tahun sebelumnya melenggang bebas tanpa batas di negeri ini. Keterlibatan para  pembenci ini sebagai penumpang gelap pada kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 bersama Prabowo,  menjadi  momentum  paling krusial untuk  mencegah pemimpin seperti  Jokowi dan orang-orangnya yang setia pada Pancasila  memegang kendali pemerintahan. Mereka sejatinya akan  terus megggerakkan semua simpul-simpul  operasional  dan  networking

VAKSIN BERBAYAR

VAKSIN BERBAYAR YANG TERTUNDA PT Kimia Farma menunda pelaksanaan Vaksin Gotong Royong berbayar untuk individu yang  sedianya  jadwalkan  hari ini, Senin, 12 Juli 2021. Alasan penundaan ini, oleh Kimia Farma berkaitan dengan animo masyarakat yang cukup tinggi, sehingga  proses  sosialisasi  harus diperpanjang dulu sampai waktu ditentukan. Terlepas soal penundaan itu, alangkah eloknya jika pemerintah meninjau kembali kebijakan vaksin mandiri ini agar situasi pandemi tidak semakin buruk oleh isu negatif yang berkeliaran    menyudutkan pemerintah. Selain itu, sungguh tidak etis jika kegiatan vaksin berbayar bagi individu dilaksanakan di tengah melonjaknya kasus Covid-19 dan tingginya antusiasme masyarakat untuk mendapatkan vaksin secara gratis. Meski vaksinasi ini    peruntukan  bagi orang  yang mampu alias berduit saja! Tetap saja tidak tepat ketika masyarakat yang sedang gelisah dan berpeluh kesah dalam antrean menunggu giliran vaksin, sementara  di tempat lain ada orang deng

PELAJARAN DARI KONFLIK PPKM

Sebuah Pelajaran Dari Konflik PPKM Bak lakon aktor protagonis dan antagonis dalam sebuah film yang menguras emosi penonton, Pemberlakuan Pembatasan Pergerakan Masyarakat (PPKM) Darurat di beberapa wilayah di indonesia, telah menyajikan   scene konflik antara petugas dengan masyarakat.  Misalnya, saat petugas PPKM Darurat menyetop dan mengamankan  anggota Paspampres di Daan Mogot, Jakarta Barat, sehingga menimbulkan sikap reaktif dari rekan-rekan anggota Paspampres tersebut, yang sempat mendatangi Polres Jakarta barat  Kemudian peristiwa ketika petugas PPKM Darurat diserang warga di Kecamatan Kenjeran, Surabaya saat melakukan patroli protokol kesehatan Covid-19. Bentrokan berlangsung saat petugas menutup warung yang melanggar ketentuan jam operasional. Warga yang menolak penutupan itu tiba-tiba menyerang petugas. Dalam kejadian itu sejumlah petugas terluka dan sebagian kendaraan  mengalami  kerusakan.  Adapula tontonan perlawanan seorang pemilik kedai kopi di Medan yang menolak ditutup,

NEGERI PE-RANGKAP JABATAN

NEGERI PARA PE-RANGKAP JABATAN Pilihan diksi  judul tulisan di atas saya kira tepat untuk menginsinyuasi tabiat dan syahwat rakus    orang-orang  di negeri ini.  Seorang anggota DPRD   memperkenalkan diri di sebuah acara organisasi  kepemudaan. Dengan bangganya, ia  menceritakan pengalaman organisasi dan jabatan-jabatan penting yang pernah dan sedang  didudukinya saat itu.  Melalui sebuah layar presentasi, berderet 126   jabatan organisasi dan institusi, yang mendapuk dirinya  sebagai pimpinan. Tak satupun dari ratusan jabatan itu luput disebutkannya. Dari semua  jabatan itu,  45 diantaranya menempatkan dirinya  sebagai  ketua atau orang nomor. Dan lucunya, semua itu dijabatnya dalam  waktu atau periodesasi yang sama.  Ada rasa kagum dari sebagian besar peserta. Tapi tidak sedikit pula  yang nyiyir dan meragukan. Tiba-tiba  wanita di belakangku bertanya. “Bagaimana bapak  membagi waktu dengan jabatan  sebanyak itu?.“  Ya itulah. Potret buruk   kita sedari dulu.  Kemaruk dan mabuk jabat