Terberitakan sejumlah pejabat mendapatkan honorarium ratusan juta rupiah dari pemakaman jenazah Covid-19. Bupati Jember bersama Sekretaris Daerah (Sekda), Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logstik BPBD Kabupaten Jember menerima honor sebesar Rp 282 juta dari pemakaman jenazah Covid-19.
Bisa dibayangkan kematian warga akibat pandemi menjadi peluang yang menggiurkan bagi pejabat. Bencana bagi rakyat, cuan di kantong pejabat.
Setiap pemakaman satu jenazah Covid-19, pejabat tersebut menerima Rp 100.000. Sementara jumlah warga yang meninggal karena Covid-19 di kabupaten tersebut cukup banyak. Alhasil, dari total pemakaman jenazah Covid-19, keempat pejabat ini mendapat honor sejumlah Rp 70,5 Juta per orang.
Bupati Jember Hendy Siswanto telah meminta maaf dan mengembalikan total uang yang diterimanya. Dia berdalih bahwa praktik honorarium anggota tim pemakaman itu sudah lama dilakukan, ia meneruskan saja. Dalam tim pemakaman jenazah Covid-19, dia duduk sebagai pengarah. Sementara penanggung jawab adalah Sekda, ketua adalah Kepala BPBD, dan ada 30 anggota petugas pemakaman. Itu sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Jember Nomor: 188.45/107/1.21/2021 tertanggal 30 Maret 2021 tentang Struktur Tim Pemakaman yang ditandatangi oleh sang bupati.
Honor yang diterima Hendy dan pejabat lainnya sama dengan honor tukang gali kubur, yakni Rp 100 ribu per pemakaman. Honor petugas pemakaman dihitung per kegiatan. Tiap petugas pemakaman mendapat honor Rp 100 ribu, setiap kali melakukan pemakaman COVID-19.
Eiit…!Tapi jangan dikira para penggali kubur itu memperoleh akumulasi honor yang sama dengan yang diterima pejabat tersebut. Penggali kubur itu dibayar hanya oleh tugas pemakaman yang dikerjakannya secara bergilir atau bergantian dengan penggali kubur yang lainnya. Jika ada tiga puluh orang petugas penggali kubur, kemungkinan mereka dibagi dalam lima kelompok. Setiap kelompok terdiri dari enam orang. Jika ada kematian 100 orang berarti setiap kelompok hanya menangani dua puluh kali pemakaman, artinya setiap penggali kubur hanya memperoleh honor sebesar 2 juta saja, sedangkan bupati dan pejabat itu menerima honor untuk seluruh kegiatan pemakaman itu. Enak toh?.
Praktik seperti ini lumrah dalam tim pelaksana kegiatan di pemerintahan. Pejabat penanggung jawab, pengarah dan pembina sudah tentu mendapatkan honor yang lebih gede dibanding pelaksana atau petugas yang kerja di lapangan.
Jangan heran misalnya, seorang petugas kebersihan sebuah tim pelaksana kebersihan kota, hanya memperoleh honor 1,5 juta sementara pejabatnya di atasnya bisa menerima sampai 15 juta,"Honor penanggung jawab, pengarah dan pembina harus lebih besar dari pelaksana" begitulah logikanya.
Pertanyaannya, apakah praktik honorarium pemakaman jenazah Covid-19 tersebut hanya terjadi di Kabupaten Jember saja? Tidakkah ini fenomena gunung es, hanya ribut-ribut yang ketahuan atau yang kebetulan terangkat ke permukaan. Sedangkan praktik tersembunyi yang terjadi di daerah lain terbiarkan. Bisa saja honor pemakaman jenazah Covid-19 yang dikantongi pejabat di suatu daerah lebih besar daripada yang diterima di Jember.
Pengakuan Bupati Jember yang mengatakan honarium pemakaman untuk pejabat itu sudah lama dilakukan, ini menunjukan bahwa praktik semacam itu kemungkinan besar berlaku pula di tempat lain. Biasanya setiap modus honorarium dari tim pelaksanaan kegiatan di suatu daerah "sangat sensitif" cepat menyebar antar sesama pemerintah daerah. Honorarium bagi Tim Pemakaman Jenazah Covid-19 yang diterapkan Kabupaten Jember kemungkinan besar sudah menjadi inspirasi dan telah diadopsi oleh daerah lain.
Apalagi Menko PMK Muhadjir Effendy, dalam jawabannya tidak menganggap pemberian honor pemakaman itu melanggar hukum, malah dibolehkan oleh undang -undang, semakin menguatkan keyakinan sejumlah pejabat daerah bahwa tak ada pelanggaran hukum bila menerima honor dari pemakaman jenazah Covid-19.
Moralitas dan kepantasan yang dianggap berada di luar aturan hukum, sudah pasti akan diabaikan oleh para pejabat . Rasa malu dan nafsu serakah mereka bak tembok kokoh yang tak bisa dirobohkan atau digoyang oleh hanya moralitas dan kepantasan. Lah, yang melanggar hukum aja biasa mereka siasati apalagi yang dibolehkan hukum.
Selama aturan membolehkan, Mereka akan menari riang menikmati apapun keuntungan itu.Tak peduli rakyat susah, yang penting mereka nikmat dan cuan.
Benarlah adagium yang mengatakan "Semakin kacau keadaan masyarakat maka semakin mudah orang-orang yang berkuasa mengambil keuntungan dari keadaan itu". Seolah menegaskan ada pejabat yang sengaja memanfaatkan bencana pandemi Covid-19 ini untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi bansos dan korupsi pengadaan masker adalah contoh lain dari praktik cuan pejabat di tengah pandemi.
Tidak semua praktik komersialisasi pandemi itu berujung menjadi kasus hukum korupsi. Bisa karena praktiknya tidak dipersoalkan aparat hukum atau memang belum terdeteksi adanya pelanggaran hukum. Selama tidak ada penangkapan, tuntutan dan proses hukum, selama itu pula motif dan praktik itu terjadi. Selama keuntungan itu cukup menjanjikan, selama itu juga mereka tak hirau jeritan dan diteriakkan masyarakat.
Tak peduli lagi soal moralitas dan kepantasan. Tak malu bila menerima honor kematian warganya. Tak sungkan ketika tampil sebagai endorse merk obat covid tertentu. Tak merasa hina saat menjadi jongos perusahaan importir alkes. Tak risi manakala menerima vaksin booster dan meminta vitamin dari milyaran uang rakyat.
Begitulah moralitas sebagian besar pejabat kita.Para penikmat uang rakyat berlomba-lomba memperoleh dan cuan di tengah penderitaan rakyat.
****
Tommy Manggus
Komentar
Posting Komentar