Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Leon Alvinda Putra melalui akun Twitter @BEM_UIOfficila menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai the king Of lips service dengan ilustrasi satire Presiden Jokowi menggunakan mahkota raja. Dalam captionnya, Leon beralasan Jokowi selama ini kerap mengobral janji manis tapi tak selaras realita. Mulai dari rindu didemo, revisi UU-ITE, penguatan KPK dan rentetan janji lainnya.
Tak pelak, postingan mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis UI ini menjadi trending topic di twitter yang kemudian menghentak emosi dan sentimen politis masyarakat di media sosial lainnya, menciptakan magnitudo dua kelompok pro dan kontra.
Mereka yang Pro memuji Leon Alvandi Putra sebagai mahasiswa yang kritis dan berani, menilai postingan itu ada benarnya, sehingga wajar sebagai aktivis mahasiswa, Leon menunjukan bentuk kepedulian terhadap perbaikan bangsa .
Sedangkan mereka yang kontra, terutama dari para pendukung Jokowi, mengecam postingan tersebut. Kelakuan Leon yang mengedit gambar Presiden Jokowi menjadi sebuah meme tidaklah etis, ia disangkakan telah menghina kepala negara. Pun, argumentasi yang dikemukakan Leon dinilai sangat dangkal, tidak akedemis dan tidak cerdas.
Di saat pujian dan kecaman terhadap postingan itu memanas di ruang publik, muncul pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI Affandi Ismail, melalui akun Instagram pbhmi.info, yang mendukung pernyataan Leon Alvandi Putra, seraya menyeruhkan revolusi rakyat untuk menurunkan Presiden Jokowi.
Tidak ada yang salah dengan pernyataan keduanya, karena ini memang bukan soal penilaian salah atau benar. Ini soal perdebatan argumentasi atas ekspresi seseorang dalam tatanan akademis dan politis. Minimal, pikiran dan daya kritis selalu diinisiasi oleh pertarungan argumentasi sebelum kita bergeser kepada justifikasi soal benar dan salah.
Persoalannya, apakah postingan Leon Alvandi Putra itu memiliki argumentasi yang kuat untuk dikatakan sebagai kritik yang berorientasi pada kebaikan masyarakat dan bangsa atau sekedar mencari sensasi panggung politis untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Apakah meme satire dengan stigma negatif kepada seorang presiden menyelesaikan persoalan bangsa ini?
Pertama, soal konten visual, yakni meme dimana gambar Presiden Jokowi yang diedit seperti tampilan seorang raja, diabeli dengan sebutan ' the king of lips servis". Dari frame postingan tersebut sudah jelas terbaca maksud dan tujuan visualisasi ini, yakni ingin memberi stigma negatif dan buruk kepada Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang otoriter, pembual dan pembohong.
Meme ini sebenarnya lebih layak disebut sebuah nyinyiran dari pada sebuah kritikan. Apa yang dibuat oleh Leon Alvandi Putra tidak bedanya seperti olok-olok seorang buzzer atau para netizen yang lagi baper dan pansos.
Visualisasi postingan ini jelas-jelas desain tidak untuk memperoleh feedback atau respon positif baik dari Jokowi pribadi maupun pemerintahan. Postingan ini semata-mata ingin melekatkan stigma atau cap pembohong kepada seorang Jokowi.
Jika postingan ini benar benar bertujuan korektif dan ingin memperbaiki persoalan terkait, ia pasti mengkonstruksi postingannya dengan gambar yang relevan dengan realitas yang terjadi, misalnya ilustrasi soal pelemahan KPK, penangkapan mahasiswa yang demo serta persoalan UU ITE.
Kedua, adalah soal argumentasi. Dalam dunia politik dan akademis argumentasi adalah hal yang penting untuk menguji pengetahuan seseorang terhadap persoalan yang dihadapinya. Bobot atau nilai plus dari sebuah argumentasi itu adalah adanya solusi.
Menilik argumen yang dikemukakan Leon dalam postinganya, ia sama sekali tidak menjelaskan soal solusi atau indikasi apapun atas kritiknya. Argumentasinya berhenti hanya pada alasan ia memberi stigma the king of lips service kepada Jokowi. Seharusnya, ia bisa menguraikan secara gamblang indikasi yang menunjukan peran Jokowi, misalnya dalam pelemahan atau penangkapan aktivis demontran mahasiswa.
Ketiga adalah soal motivasi atau motif. Dari penilaian soal visualisasi gambar dan argumentasi dalam postingan Leon Alvandi Putra, kita dapat menyimpulkan soal motivasi atau motif dari postingannya. Motifnya sangat jelas, yakni pansos atau panjat sosial, artinya seseorang yang mencari panggung khalayak untuk membuat namanya terkenal melalui postingan media sosial. Indikasi postingan pansos itu identik dengan sesuatu yang " negatif" berisi sindiran,nyinyiran, hoaks dan gimmik.
Mungkin Leon merasa selama ini dia belum populer sebagai Ketua BEM UI dan belum diperhitungkan oleh elit politik nasional, demikian pula Afandi Ismail yang kemudian ikut-ikut pansos karena takut kalah populer dari Leon.
Pertanyaannya siapa yang menjadi target perhatian Leon dan Affandi? Khalayak mana yang kira-kira memberi panggung untuk pansos ini?Orang-orang yang selama ini membenci dan bersebrangan dengan Jokowi dan pemerintahannya, nampaknya lebih layak disebut menjadi target perhatian. Mereka berdua seolah ingin me-reprentasikan sinisme dan kegaulauan para pembenci Jokowi yang selama belum mampu mengguncang pemerintahannya.
Para elit-elit politik oposan Jokowi, bisa jadi sebagai trigger motif pansos ini dilakukan. Mungkin saja, Leon Alvandi Putra dan Affandi Ismail merasa sudah saatnya eksistensi mereka sebagai pemimpin organisasi kampus ternama, yang memiliki pengaruh besar mulai diakui dan dihargai oleh strata elit (oligarki) yang lebih tinggi. Yang tanpa mereka sadari membuat diri mereka masuk dalam lingkaran politik praktis. Mereka mulai mengakselerasi pikirnya-pikiran politik yang opurtunis dan agenda politik yang syarat kepentingan dari para elit tersebut.
Apalagi penyataan dari Affandi Ismail yang menyeruhkan agar rakyat menurunkan Presiden Jokowi secara inkonstisional, semakin menegaskan adanya agenda politik kelompok tertentu dari motivasi kedua mahasiswa ini.
Ini bukan lagi soal mahasiswa bicara politik atau bukan pula soal kebebasan berekspresi, ini sudah masuk wilayah politik praktis, ada agenda terselubung, yang tidak lagi murni sebagai gerakan mahasiswa yang independen dan idealis.
Melihat realitas ini, berat rasanya mengatakan apa yang dilakukan Leon Alvandi Putra dan Affandi Ismail bukanlah politik praktis. Sama beratnya ketika menyebut mereka nonpartisan, independen dan idealis.
Sekali lagi, ini bukan soal justifikasi salah dan benar. Ini soal apakah ekspresi itu memiliki argumen yang tepat untuk kepentingan masyarakat dan kebaikan bangsa. Atau, ekspresi itu hanya memenuhi syahwat politik untuk mencari panggung kekuasaan dan merepresentasikan kekuatan politik tertentu.
Meminjam apa yang dikatakan Presiden Jokowi saat menanggapi postingan BEM UI tersebut, bahwa postingan itu sah-sah saja disampaikan sebagai bentuk ekspresi mahasiswa yang sedang belajar mengekspresikan pendapatnya di negara demokrasi. Termasuk kita semua harus belajar bagaimana berekspresi secara berkualitas dalam tatanan demokrasi yang bermartabat dan beretika.
Komentar
Posting Komentar