Pemerintah, yang selama ini berkoar-koar agar masyarakat menerapkan protokol kesehatan, menjaga jarak, melarang acara resepsi pernikahan dan kegiatan lainnya yang berpotensi menimbulkan kerumunan, pada kenyataan menjadi ceremony creator yang paling banyak memproduksi kegiatan yang mengundang kerumunan.
Dalih bahwa setiap kegiatan yang dilaksanakan telah menerapkan protokol kesehatan yang ketat, pada praktiknya tak sepenuhnya bisa dijamin. Contohnya di acara peluncuran tim detektor oleh Pemkot Makassar tersebut.
Awalnya, kegiatan itu berjalan tertib, semua peserta diatur dengan jarak tertentu. Namun kerumunan mulai terjadi saat hujan mengguyur. Para petugas yang baru diperkenalkan tiba-tiba berlarian mencari tempat bernaung, sebagian besar mereka berkumpul di bawah tribun lapangan, akhirnya, kerumunan pun tak mampu terhindari.
Aturan tinggallah aturan, prokes hanya panduan di atas kertas, di lapangan siapa yang bisa menjamin! Resiko terjadinya kerumunan yang tak terduga itulah yang sebenarnya disadari pemerintah, sehingga melarang kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.
Acara yang sebenarnya hanya ceremoni belaka, sekedar parade pidato dan sedikit pertunjukan, selayaknya bisa dilakukan secara virtual atau daring. Segitu urgent-nya kah ceremoni itu digelar? Padahal yang penting tim yang dibentuk memahami teknis operasional, tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, yang sebelumnya bisa di-upgrade melalui training online atau kelas offline terbatas.
Hingga saat ini, tak satu pun pihak yang bisa menjamin orang yang berkumpul dalam jumlah besar tidak menimbulkan kerumunan. Benar, kita mungkin mampu mengawasi dan mengatur orang tetap menjaga jarak ketika awal acara berlangsung. Tetapi, bagaimana sebelum acara?
Apakah kita bisa menjamin mobilitas kedatangan peserta ke tempat acara atau pergerakan peserta setelah acara bubar tidak menimbulkan kerumunan? Situasi seperti inilah yang tak terjangkau oleh kita sebagai penyelenggara, sehingga potensi kerumunan luput diantisipasi.
Tak hanya Pemkot Makassar, Jika kita berselancar di portal-portal berita daerah, kita akan menemukan banyak sekali kegiatan ceremoni tatap muka yang digelar oleh pemerintah daerah.
Acara yang sebenarnya bisa dilakukan secara daring, tetapi dengan alasan protokoler dan anggaran terlanjur dialokasikan, tetap harus dilaksanakan secara offline.
Pemerintah sebenarnya harus sadar dan sabar bahwa tidak bisa lagi suatu kegiatan itu dilaksanakan secara emosional, instan dan sekaligus. Misalnya dalam kasus lain, pelaksanaan kegiatan vaksinasi 1 Juta orang sehari yang baru-baru ini digelar di beberapa daerah, ternyata menimbulkan kerumunan dan mengabaikan protokol kesehatan. Hanya karena mengejar target 1 juta orang dalam sehari, semuanya kemudian berpacu mengabaikan prokes.
Kita sangat setuju, kegiatan vaksinasi harus terus berjalan dan dipercepat, namun tetap bertahap dan menghindari euforia yang berlebihan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengeliminasi potensi kerumunan, diantaranya memecah centra pelayanan vaksinasi di banyak titik dan memaksimalkan platform online untuk proses pendaftaran dan undangan vaksinasi.
Dari dua contoh paradoks persoalan di atas, sudah saatnya pemerintah mengoreksi secara serius sikap inkonsistensi dan ironis soal kebijakan larangan berkerumun di masyarakat. Pemerintah harus memaksakan dirinya realitis dengan kondisi kehidupan di tengah pandemi Covid-19 saat ini.
Peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan motor kehidupan adaptasi kenormalan baru sangat dinantikan untuk menjamin keutamaan keselamatan masyarakat. Sehingga tak ada lagi diksi paradoks dan ironis atau labelling ceremony creator yang disematkan kepada pemerintah
Komentar
Posting Komentar