Langsung ke konten utama

PARADOKS PEMBATASAN

Kerumunan ribuan  orang di acara Peluncuran Satuan Tugas (Satgas) Detektor COVID-19 yang digelar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar di Lapangan Karebosi pada Jumat lalu (2/7/2021)  menjadi paradoks  di tengah  upaya pemerintah mencegah penyebaran Covid.

Pemerintah, yang selama ini berkoar-koar agar  masyarakat menerapkan protokol kesehatan, menjaga jarak, melarang   acara resepsi pernikahan dan kegiatan lainnya yang berpotensi  menimbulkan kerumunan, pada kenyataan  menjadi ceremony creator yang paling banyak memproduksi  kegiatan yang mengundang kerumunan.

Dalih bahwa setiap kegiatan  yang dilaksanakan telah menerapkan  protokol kesehatan  yang ketat, pada praktiknya tak sepenuhnya bisa dijamin. Contohnya di acara peluncuran tim detektor oleh Pemkot Makassar tersebut.

Awalnya, kegiatan  itu  berjalan tertib, semua peserta diatur dengan  jarak tertentu. Namun kerumunan mulai terjadi saat hujan mengguyur. Para petugas yang baru diperkenalkan tiba-tiba  berlarian mencari tempat bernaung, sebagian besar mereka berkumpul  di bawah  tribun lapangan, akhirnya, kerumunan pun tak  mampu terhindari.

Aturan tinggallah aturan, prokes  hanya panduan   di atas kertas, di lapangan siapa yang bisa menjamin! Resiko terjadinya kerumunan yang  tak terduga itulah yang  sebenarnya disadari  pemerintah, sehingga   melarang kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.

Acara yang sebenarnya hanya  ceremoni  belaka, sekedar  parade pidato dan sedikit pertunjukan, selayaknya bisa dilakukan secara virtual atau daring. Segitu urgent-nya kah ceremoni itu digelar? Padahal yang penting tim yang dibentuk  memahami teknis operasional, tugas, fungsi dan tanggung jawabnya, yang sebelumnya bisa di-upgrade melalui training online atau kelas offline terbatas.

Hingga saat ini, tak satu pun pihak yang   bisa menjamin orang yang berkumpul dalam jumlah besar tidak menimbulkan kerumunan.  Benar, kita  mungkin mampu mengawasi dan mengatur orang tetap menjaga jarak ketika awal acara berlangsung.  Tetapi, bagaimana sebelum acara?

Apakah kita bisa menjamin mobilitas kedatangan peserta ke tempat acara atau  pergerakan peserta setelah acara bubar tidak menimbulkan kerumunan? Situasi  seperti inilah yang tak terjangkau oleh kita sebagai penyelenggara, sehingga  potensi kerumunan luput diantisipasi.

Tak hanya  Pemkot Makassar, Jika kita berselancar di portal-portal berita daerah, kita akan menemukan banyak sekali kegiatan ceremoni tatap muka  yang digelar oleh pemerintah daerah.

Acara yang sebenarnya bisa dilakukan secara daring, tetapi dengan alasan protokoler dan anggaran terlanjur dialokasikan,  tetap harus dilaksanakan secara offline.

Pemerintah sebenarnya harus  sadar dan sabar bahwa tidak bisa lagi  suatu  kegiatan itu dilaksanakan secara emosional, instan dan sekaligus. Misalnya dalam kasus lain, pelaksanaan kegiatan vaksinasi 1 Juta orang sehari yang baru-baru ini digelar  di beberapa daerah, ternyata menimbulkan kerumunan dan mengabaikan protokol kesehatan. Hanya karena mengejar target 1 juta orang dalam sehari, semuanya  kemudian  berpacu mengabaikan prokes.

Kita sangat setuju, kegiatan vaksinasi harus terus  berjalan dan dipercepat, namun tetap  bertahap dan menghindari euforia yang berlebihan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengeliminasi  potensi kerumunan, diantaranya memecah  centra pelayanan vaksinasi di banyak titik dan memaksimalkan platform online untuk proses  pendaftaran dan undangan vaksinasi.

Dari dua contoh paradoks persoalan di atas, sudah saatnya pemerintah mengoreksi secara serius sikap inkonsistensi dan  ironis soal kebijakan larangan berkerumun di masyarakat. Pemerintah harus memaksakan dirinya realitis  dengan kondisi kehidupan di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

Peran  pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan motor kehidupan adaptasi kenormalan baru sangat dinantikan untuk menjamin keutamaan keselamatan masyarakat. Sehingga tak ada lagi diksi paradoks dan ironis atau labelling ceremony creator yang disematkan kepada pemerintah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antrean Itu Cermin Buruknya Disiplin Petugas

Sudah empat jam aku duduk di kursiku menunggu nama anakku dipanggil. Ternyata, datang dan mendaftar  lebih awal tidak menjamin dipanggil duluan. Urutan antrean peserta vaksinasi tergantung selera petugas. Yang baru tiba  bisa    langsung dilayani,   dan yang  mendaftar  belakangan bisa dipanggil lebih awal. Peristiwa  tidak elok ini  bukan yang pertama bagiku, pasalnya pada kegiatan vaksinasi dosis kesatu di awal bulan Juli lalu, aku juga mengalaminya. Esoknya, giliran membawa anakku pun merasakan  perlakuan yang  serupa.  Lanjut divaksinasi dosis kedua di awal Agustus lalu, aku dan kemudian bersama anakku pun mengalami hal yang sama.  Tidak ada yang bisa kulakukan, kecuali hanya menarik nafas dan berusaha memakluminya. Hari ini, kala membawa anak keduaku  untuk vaksininasi dosis pertamanya, pun lagak petugasnya masih seiras, malah kali ini lebih culas. Peserta vaksinasi yang sebelumnya dibatasi hanya seratus orang, hari ini  tumplek blek sampai enam ratus peserta. Alih-alih  protokol

Jangan Sampai Lebih Takut Lihat Polisi Dibanding Penjahat

  Banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi dalam beberapa waktu terakhir ini seolah menegaskan buruknya citra lembaga penegak hukum tersebut. Peristiwa salah tangkap, pelanggaran SOP, brutalisme, kejahatan seksual ,pemeriksaan ponsel warga secara non-prosedural dan non-etis, penersangkaan korban, dan lainnyan sebagainya membuat masyarakat menjadi merinding dan takut berurusan dengan polisi. Sampai-sampai seorang kawan mengatakan jika ia  merasa lebih takut berhadapan dengan polisi daripada penjahat, karena polisi dapat melakukan kejahatan  dengan berlindung dibalik institusi,  hukum dan fasilitas negara.. ” Jangan sekali-sekali deh, buat kejahatan jika tidak mau berurusan dengan penjahat” sindirnya. Deretan Peristiwa seperti penembakan  oleh oknum Ipda OS anggota Polisi Lalu Lintas PJR Polda Metro Jaya dan  kasus aborsi oknum R yang menyebabkan seorang mahasiswa meninggal di  Purwekerto baru baru ini menambah cacatan buruk yang dilakukan  oknum angg

Bandara Tanjung Harapan Jogging Track Favorit

  Sejak  tahun 2000,aku mulai rutin pergi ke bendara  Tanjung Harapan,    saban sore  berkendara motor roda dua menuju bandara kecil yang berada di dekat Taman makam Pahlawan  Tanjung Selor itu. Namun, tujuanku ke bandara itu  bukan untuk berangkat   atau  mengambil paket kiriman yang datang, melainkan untuk olahraga jogging di  runaway  atau landasan pacu bandara. Yup, mungkin ketika itu akulah yang paling rajin jogging di bandara itu.Sampai-sampai beberapa teman memberi gelar ” penunggu bandara”. Kadang jam 2 siang, kala runaway bandara masih sepi,  dengan berbekal jaket parasut dan topi, aku sudah duluan  berlari menikmati panas dan  teriknya cuaca siang hari. Menurutku dan orang-orang ketika itu, runaway ini adalah  tempat yang paling nyaman dan ideal   di Tanjung Selor untuk melaukan aktivitas jogging. Selain treks nya yang lurus dan lebar, landasan ini tempat yang paling aman  untuk jogging, udaranya yang bersih, jauh dari polusi asap knalpot.  Berlari di sini kit