Hari itu, istriku mengatakan ia akan ke sekolah anak-anakku untuk mengambil rapot kenaikan kelas mereka. Terus terang, aku sempat merasa aneh ketika mendengar kalimat "kenaikan kelas " dari mulutnya.
Aku tercenung, dalam hati berkata " Gak salah ni, anak-anak sudah kenaikan kelas lagi?", sambilku mengingat-ingat aktivitas belajar anak-anaku dalam setahun ini.
Tahun lalu, kejadiannya hampir sama. Meski hanya dua bulan saja mereka belajar dan ujian dari rumah.
Bukan aku meragukan soal nilai dan kemampuan belajar mereka. Aku sangat tahu, karena saban hari aku yang mendampingi mereka belajar di rumah. Bagaimana mereka menyelesaikan tugas dan mengerjakan setiap ujian sendiri . Intinya, tidak ada masalah dengan nilai dan kemampuan belajar mereka di rumah.
Siswa yang tidak pernah ke sekolah kemudian naik kelas apalagi sampai dapat rangking, dalam dalam pandanganku kala itu adalah hal yang sangat aneh dan absurb.
Apalagi anakku yang nomor dua, yang lulus dari sekolah dasar tahun ini, nampak semua dilaluinya biasa-biasa saja, tanpa beban dan tekanan. Tidak terlihat ketegangannya atau kesibukan, lazimnya anak-anak sebelumnya, yang pernah menghadapi ujian kelulusan. Mungkin, karena ujiannya dikerjakan di rumah.
Ada rasa sumbang dengan kebimbangan itu. Menurutku, mengerjakan tugas dan belajar di rumah itu hanyalah kewajiban ekstra seorang siswa. Kewajiban utama mereka tetaplah belajar di sekolah. Situasi belajar di rumah tidaklah sekondusif ketika belajar di sekolah.
Lagi pula, sekolah itu bukan hanya tempat belajar anak-anak mendalami ilmu saja, tapi tempat bagi anak-anak untuk belajar bermasyarakat, melatih kecerdasan emosional dan sosial mereka, belajar berteman, belajar menghargai perbedaan, belajar budaya orang lain, belajar bertoleransi dan berkompromi dengan yang lain.
Pengalaman belajar itulah yang ku nilai telah hilang dari anak-anak selama setahun lebih akibat pandemi ini. Pengalaman belajar yang sulit tergantikan dengan hanya belajar di rumah.
Ada kecemasan soal fakirnya kecerdasan sosial dan emosional mereka, akibat hilangnya aktivitas interaksi sosial dan kemampuan bermasyarakat mereka. Hal ini dikuatirkan akan mempengaruhi massa depan mereka kelak.
Bayangkan selama setahun lebih, tidak ada interaksi fisik dengan teman-teman dan guru-gurunya, semuanya dilakukan melalui internet dan gadget. Ruang-ruang kelas hanya tersedia di laptop, PC dan smartphone. Interaksi dan komunikasi hanya lewat grup whatsapp, google meet dan zoom. Itupun hanya sebatas pelajaran dan tugas dari guru.
Mereka mungkin sudah lupa dengan nama-nama dan rupa-rupa karakter teman-teman mereka. Mendengarkan tawa teman-teman mereka hanya lewat layar gawai saja. Mengekspresikan emosi mereka hanya dengan striker, animasi dan emoticon.
Aku termenung dalam kecemasanku. Sampai kemudian kata-kata William Arthurd Word menyadarkanku akan situasi ini,
“Orang yang pesimistis komplain tentang angin, seorang yang optimis berharap angin untuk berubah, seorang realistis menyesuaikan layar".
Kalimat itu seolah menegurku. Mungkin aku tidak realitis dan kurang optimis menyikapi situasi ini. Aku terlalu egois, pikiran masa lalu di otakku, kucemaskan dengan situasi kekinian anak-anakku.
Bukankah situasi saat ini tidak hanya dialami anak-anakku saja. Mereka tidak sendiri. Semua anak-anak di sekelilingnya, di kotanya, di negaranya, bahkan di dunia mengalami persoalan interaksi sosial yang sama, karena pandemi yang sama pula.
Anak siapa sekarang ini yang punya ruang untuk membuka diri dalam kehidupan sosialnya? sekolah-sekolah, klub olahraga anak, wahana permainan, pusat kegiatan belajar dan ruang interaksi lainnya, ditutup dan dibatasi.
Kekuatiran dan kecemasanku yang menggangap situasi ini bakal menghilangkan keterampilan sosial dan kehidupan bermasyakat mereka, adalah sesuatu yang sangat berlebihan bahkan eksesif. Padahal, aku telah melewati kebiasaan ini bersama anak-anakku, tapi ternyata tidak dengan pikiranku.
Mungkin, aku terlalu galau melihat interaksi sosial mereka. Yang lebih asyik berinteraksi melalui gadget. Yang terlalu sering melepaskan emosi secara virtual. Yang sangat nyaman menjalin komunitas pergaulan dunia maya. Tapi, itulah periodesasi kehidupan bermasyarakat anak-anak itu saat ini.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya pandemi ini terjadi dua puluh tahun yang lalu, dimana teknologi digital internet tidak secanggih saat ini.
Artinya, aku harus dituntut bersyukur dan memahami realitas saat ini, bahwa inilah dunia anak-anakku sekarang, internet dan teknologi adalah cara dan media mereka untuk bermasyarakat.
Anak-anakku tidak akan menghadapi satu era dunia yang membuat mereka kehilangan dunianya, kehilangan daya tahannya dan kehilangan kemampuan bertahan hidupnya.
Anak-anak itu akan menghadapi satu generasi yang sama, yang memiliki persoalan sosial dan masalah kehidupan yang setara dengan mereka. Generasi yang beradaptasi dan survive menciptakan hikmah dan khitah di zaman mereka sendiri. Generasi yang terpilih untuk melalui keutamaan episode hidup mereka.
Yang bisa aku lakukan adalah membangun optimisme, buat diri ku dan anak-anakku nyaman dengan perubahan ini, bukan menolak apalagi membencinya. Biarlah kreatifitas dan tantangan yang ada membuat diri mereka relevan merespon perubahan ini. Kata Charles Darwin " Bukanlah yang terkuat atau terpintar yang dapat bertahan, melainkan mereka yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan."
Tommy Manggus
Komentar
Posting Komentar