MASIHKAH BERHARAP MEDIA DAN WARTAWAN NETRAL ?
Dengan senang hati, saya akan mengatakan" TIDAK".
Penilaian ini saya simpulkan setelah melihat fenomena pemberitaan media online maupun media konvensional dalam menyikapi pilkada 2020.
Ada media yang secara terang terangan menunjukan sikap keberpihakan, terutama media online. Ini bisa kita lihat melalui isi, porsi dan orientasi pemberitaannya. Berita2 Media model begini banyak sekali bertebaran di grup Facebook.
Ada juga media yang secara tertutup dan halus menyembunyikan keberpihakan dengan masker profesionalitas, ini banyak dilakukan oleh media konvensional atau mainstream.
Loh! Jangan dikira media dan wartawan profesional itu identik dengan netralitas. Sebagai penulis berita, mereka sadar atau tanpa sadar tidak lepas dengan sikap keberpihakan.
Sikap netral yang mereka katakan belum tentu dalam praktiknya menunjukan netralitas sebenarnya. Dalam banyak soal, netralitas itupun sering kali dianggap sebuah keberpihakan.(Kita bisa gunakan analisis teks media).
Makanya untuk menghindari dan menetralisir perdebatan dimaksud, ada yang disebut" Kami Menulis, Silahkan Pembaca Menilai". Artinya, media punya kebebasan untuk menyampaikan pesan dengan gaya mereka sendiri, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk menilainya.
Sebagai seorang konstruksionis atau orang yang berpegang pada paradigma konstruksionisme, saya menyakini posisi partisan atau keberpihakan media dan wartawan.Sedikit akan saya ulas secara teoritis.
Paradigma konstruksionis memiliki pandangan sendiri terhadap media, wartawan dan teks berita yang dihasilkan (Eryanto, 2002: 22-40). Diantaranya sebagai berikut :
1. Fakta atau perisiwa adalah hasil konstruksi.
Sudut pandang subjektif wartawan membentuk realitas tertentu. Artinya, kebenaran adalah fakta bersifat relatif. Misalnya, wartawan hanya memilih momen momen pencitraan tertentu dari si kandidat, sementara moment lain tidak diberitakan.
2. Media adalah agen konstruksi.
Dalam menulis pemberitaan, media akan memilih peristiwa, menentukan sumber berita dan aktor tertentu. Misalnya, ia hanya memilih kampanye kandidat atau lebih banyak berita kandidat tertentu dibanding kandidat lain.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, Ia hanyalah konstruksi dari realitas.
Misalnya, berita tentang kandidat si A ditulis biasa saja, tapi kandidat si B diberitakan luar biasa.
4. Berita bersifat subjektif
Peristiwa yang sama bisa dimaknai dan ditulis berbeda. Misalnya, peristiwa konflik gubernur dan wakilnya. Media satu nampak empati pada gubernur dan media lainnya lebih simpatik
pada wakilnya.
5. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produki berita.
Misalnya, wartawan yang memiliki latar belakang seorang aktivis idealis, pengetahuan agama dan budaya yang kuat akan berbeda melihat suatu peristiwa dengan mereka yang lebih liberal.
6. Khalayak memiliki penafsiran tersendiri atas berita
Ini yang saya katakan pembaca bebas menilai dan menafsirkan pemberitaan suatu media.
Teori hirarki pengaruh terhadap isi media Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese menegaskan faktor yang mempengaruhi produksi berita suatu media, yang membuat wartawan dan media sulit untuk tidak berpihak. Misalnya, kontrak iklan atau advetorial, kedekatan dengan pemerintah atau perusahaan tertentu, akan mempengaruhi produksi berita dan keberpihakan suatu media.
Penjelasan diatas dimaksudkan untuk membuka logika dan kesadaran kita bahwa media bukanlah tempat yang tepat untuk menemukan realitas yang netral. Anda harus terbiasa dengan beragam isi, porsi dan orientasi suatu media. Tidak saja ia bisa berbeda dengan anda, tapi sering kali ia juga bisa sama dengan anda.
Mulailah coba menerima dan menghargai ke-ada-anya media hari ini dengan berfikir kritis. Itu saja..
Komentar
Posting Komentar