Langsung ke konten utama

Hantu Bulu Perindu 1

ANAK KODIM PUNYA CERITA

 Januari 1988, kala   musim    buah  di Tanjung Selor telah melewati masa puncaknya. Ketika  itu usiaku   13 tahun, masih  duduk di kelas 1 SMP.

 Sebagai    remaja  le-laki   yang tinggal di barak asrama tentara atau biasa disebut anak kolong. Aku tumbuh  sebagai anak yang pendiam dan pemalu , walau sedikit nakal. Berbeda jauh   dengan anak kolong kebanyakan yang  liar, muka tembok, malu-maluin  dan nakalnya kelewatan. 

Tapi karena tinggal di dalam lingkungan barak, hari-hari hidup dan berteman dengan mereka, sedikit banyaknya sikap negatif itu berpengaruh juga kepadaku.

 Keluyuran,  berkumpul dan bergerombol selalu menyertai aktivitas hari-hari anak kolong.   Pulang sekolah, enggak langsung nyampe   rumah, kerjaannya  pasti muter-muter dulu, terutama ngelatap  di kebun buah orang. Milik siapa saja, Buah apa saja ,yang penting buahnya  bisa dimakan dan pohonnya bisa di makan.....eh salah,  dipanjat maksudnya.
 
Apalagi jika musim buah tiba. Intensitas kunjungan ke kebun buah orang pasti semakin tinggi. Pakaian yang bernoda getah, mencret mencret,  muka  yang berlepotan dan gigi yang menguning adalah tanda kami banyak berada di kebun orang..

Ini bukan soal menikmati buahnya atau  mengisi perut saja, tapi  melanglang buana,  berkelana  di dalam hutan  buah,  suatu hal yang menyenangkan dan penuh tantangan.

 Dikejar pemilik kebun yang mengacungkan parang, sudah sering kami alami. Diancam pemilik kebun yang lagi nenteng  Mandau dibawah pohon , sudah lazim kami hadapi, bahkan ditampar penjaga kebun berkali kali kali, sudah sering terjadi.. Semuanya kami nikmati dan terima dengan ikhlas, tak pernah sekalipun kami lapor ke orang tua, apalagi ke mertua (lah...inikan masih anak-anak)

 Bagi kami kekerasan dan ancaman dari warga  atau siapapun, tidaklah membuat kami kapok dan takut, kecuali  oleh  bapak bapak  kami, tentara itu.

Hari itu, sudah 3 hari aku dilarang    keluar rumah oleh orang tuaku.  Gara-garanya,  aku ketahuan   kelayapan bersama sama temanku  di kebun orang. Akibatnya, aku dihukum selama 2 minggu enggak boleh bermain ke luar rumah. 

 Memang, orang tuaku sangat  keras melarang aku bepergian  di kebun orang, itu sama saja dengan mencuri, kata mereka. Namanya anak anak pasti sering kali lupa nasehat orang tua. Hasrat bermain dan berkeumpul dgn teman teman lebih besar dari nasehat.

Mereka memberi ultimatum, klo sampai terdengar lagi aku  keluyuran di kebun buah orang,  gagang senjata, kopel dan sepatu tentara  yang keras akan mendarat  di tubuh ini.

 Bukan takut dgn hukuman itu, tapi malunya itu digebok di depan barak, dilihat teman teman dan tetangga. Klo soal hantaman kopel, Laras senjata dan sepatu PDH  itu sdh makanan sehari hari. Bagiku, tidak kenal lagi  yang mananya rasanya sakit itu.

 Kutahan keinginanku ngumpul bersama teman-temanku. Tapi setelah 3 hari lewat. Batin ini tersiksa. Naluri berpetualang tidak bisa ditahan lagi. Aku harus cari cara agak bisa keluar rumah. Lagi mikir cari cara bisa keluar, ehhh  datang temanku yang bernama ingkong ke rumah. Ia menceritakan pengalamannya berkelana di hutan buah seorang diri.  Ternyata, kejadiannya itu barusan tadi malam, ia diam-diam masuk  ke hutan buah  yang ada di kampung bulu perindu.

 " Aku sendiri aja tom" katanya melanjutkan  cerita.

Aku terheran-heran dengan keberanianya" berani kau sendirian ke situ?!"

 " Beranilah. Tapi aku sebentar aja.Jam 10 sdh pulang" katanya.

Perahu siapa kau pakai?" Tanyaku

" Perahu oranglah.Ada tuh di ujung tanjung".

Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya.Bagi kami anak anak kolong, pake perahu orang tanpa ijin itu sduah biasa.

 " Jadi, dapat buah apa kau,Kong?" 

 "Durian 2 bini, sama Langsat sedikit. aku panjat pohonya"

 "Ahh.kau manjat pohong Langsat malam-malan? 

 #iya".jawabnya.

 "Gila ni orang' dalam hatiku.

Pengalaman ingkong itu semakin membuat  hasrat berpetualangku di hutan buah semakin membara. Lalu, terlintas dipikiranku  untuk melakukan hal yang sama. bergerak  di  malam hari aja, dengan jumlah teman yang terbatas. Dua  atau tiga  orang aja,.

 " Kita pergi lagi malam ini Yuk!" 

 " Enggak ahh, ngeri juga malam-malam ke sana"jawab ia menolak ajakanku.

  Tapi aku sudah mantap untuk keluar malam ini. Mulailah aku menghubungi   temanku lainnya, dan menyampaikan ide ini.Tapi, jawaban mereka mengecewakanku. Mereka tidak mau ikut . Ku coba  menghubungi  teman yang  lainnya. Jawabnnya sama juga , tidak mau ikut.

  Takut!Itulah alasan mereka. Takut pergi malam-malam, banyak hantunya. 

 "Kan di tempat itu banyak kuburannya.Banyak tempat angkernya!" alasan temanku.

 " Apalagi  sekarang   di penghujung musim buah. Sudah jarang kebun yang ada buahnya" jelas mereka padaku.

  Setelah pikir-pikir, Akhirnya aku memutuskan pergi seorang diri saja. Jawaban temanku malah  membuat aku semakin penasaran untuk pergi malam-malam. Ini bukan soal buah, tapi ini soal keberania.

 Ada rasa tertantang  untuk membuktikan kepada teman 2 bahwa aku akan menghadapi hantu -hantu    seperti yg mereka takutkan.  Ada keinginan  untuk melewati batas ketakutan malam-malam di dalam hutan. Menunjukan jati diri pria yang berani!

  Malamnya, Tepat jam 21.00  WITA, aku mulai bergerak mengendap ngendap dari belakang barak rumahku (asrama Kodim 0903 kampung Arab). Tujuanku ke  pinggir Sungai Kayan, persisnya di Lanting (jamban) yang berada tepat di depan eks rumah Dandim 0903.

 Kebetulan di samping eks rumah  komandan kodim (Dandim) tersebut terdapat jalan kecil  yang sering kami lalui dari belakang rumah menuju  jalan raya dan ke  lanting tersebut.

 Di masa itu,  di sepanjang  tepian sungai kayan berjejer lanting-lanting milik warga.  Hampir setiap jarak 100 meter  terlihat  lanting. Ukuran dan bentuknya beragam. Selain digunakan  untuk sarana MCK  mandi, cuci dan kakus,  lanting juga berfungsi    sebagai dermaga perahu masyarakat.

  Lanting milik Kodim 0903 adalah lanting terbaik di Tanjung Selor ketika itu. Kakusnya  3 pintu. terbuat dari seng. Dibangun  di atas batang log  kayu Meranti  yang sangat besar. Memiliki fasilitas ruang tungggu yang cukup luas.

 
 Seperti biasa, setiap  Jam 21.00 malam, suasana   Tanjung Selor sudah sepi. Tidak  ada aktivitas orang di luar rumah. Tanjung Selor kala itu, bisa dibilang hanyalah kota  kecil, bahkan sangat kecil. Sebagian besar wilayahnya di kelilingi  kebun buah , lahan persawahan dan  hutan muda atau orang disini menyebutnya "Jakau". 

 Jumlah  penduduknya  masih  sedikit. Jaraknya antar rumah masih  jarang jarang.  Kendaraan  roda empat maupun roda dua hanya satu dua yang lewat di jalan. Pusat  Keramaian     hanya sampai pasar ikan lama, atau sekarang ini  sekitar pasar sore. 

 
Oleh karena itu, jam 21.00  adalah waktu yang tepat bagiku untuk mulai menjalankan misi ini.

 Tiba di pinggir sungai, aku melihat sebuah perahu kecil yang ditambatkan di sebelah hilir lanting.

Hatiku pun terasa lega, ternyata perahu itu masih ada.   berbegas  aku menuju ke perahu tersebut. 

Aku  tidak tau siapa pemilik perahu ini.   Taunya perahu itu setiap sore  ditambatkan di lanting tersebut.

  Sebelum melepas talinya ku buka  papan seperti palet yang ada di badan perahu, untuk memastikan dayungnya  tersimpan di situ. Ternyata ada.

 "Syukurlah"⁴ batinku.

Dengan bermodal senter sebagai penerang malam dam sebilah mandau di pinggang, mulailah aku berdayung dalam kegelapan malam. Pantulan cahaya buram lampu  jalan sedikit  membantu  menerangi beberapa tempat yang saya lewati.

 Untungnya malam itu arus sungai kayan tidak deras . Pasang air laut sangat membantu mengurangi beban putaran dayung di tanganku.

Setelah mendayung kurang lebih  20 menit, aku  berada di depan muara ujung tanjung. Suasananya sangat gelap, dan arus terasa mulai deras, itu akibat aliran  air dari hulu terbelah terbagi menjadi dua  jalur .

Berada di muara ujung tanjung membuat aku teringat cerita  mistis tentang keangkeran tempat itu. Mitos menakutkan  Patin berjanggut dan hantu Jerenun penunggu air ujung tanjung membuat bulu kuduk berdiri.

 Gerak dayungku semakin cepat, berusaha membuang ketakutan itu. Fokusku ku alihkan hanya pada kampung bulu perindu yang berada seratus meter di depanku.

"sebenter lagi sampai" gunamku

 Dua menit kemudian aku tiba  d bagian hulu buluperindu, tepatnya di bawah pohon Rambung besar yang ada di seberang ujung tanjung (kalau sekarang itu dii sebelah jembatan gantung).

 Bagi orang bulu perindu dan kampung Arab pasti ingat dengan pohon Rambung besar ini. Dibawah pohon ini dulunya sering digunakan tukang gesek atau pembuat papan untuk menumpuk batang-batang pohon besar (log) yang akan digergaji menjadi papan.

 Selain teduh, tanah dibawah pohon Rambung biasanya landai dengan tumpukan tanah yang agak keras, sehingga menjadi tempat yang tepat untuk mendaratkan batang log.

Di bawah kegelapan pohon raksasa ber-usia    ratusan tahun itu. Aku duduk   di atas potongan log batang kayu. Memulihkan sejenak  tenaga yang tadi terkuras..

Hawa dinginpun mulai yg menusuk tulang.  Entah kenapa jika berada di tempat gelap dan sepi seperti ini, kisah kisah Mistis yang pernah kita dengar seolah menari di pikiran kita.
Teringat lagi cerita-cerita orang, tentang keangkeran pohon Rambung ini, yang konon katanya dihuni oleh penunggu  keluarga  Jin yang sangat  besar.

 Ku tepis cerita-cerita dan ingatan itu, yang mencoba mengendurkan semangatku.

 " Aku harus  aku anak lelaki yang berani" bisikku dalam hati.

 Setelah,  menarik perahu sedikit ke daratan dan mengikat talinya, aku mulai melangkah meninggalkan pohon rambung dan menjejakan kakiku menuju perkampungan Bulu perindu.

 Pelan pelan aku berjalan melewati celah celah akar raksasa pohon rambung.   Kurang lebih 100 langkah, kutemukan jalan setapak sebagai jalan  utama  kampung itu. Kiri kanan jalan  dipenuhi deretan pohon bambu yang cukup lebat.

 Aku harus hati hati, karena akan melewati  diantara bambu bambu itu. Senterku kuarahkan bagian atas rimbunan dedaunan pohon pohon  bambu itu .Waspada kemungkinan adanya ular hijau atau ular daun yang tiba tiba menyerangku..

bersambung

 



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antrean Itu Cermin Buruknya Disiplin Petugas

Sudah empat jam aku duduk di kursiku menunggu nama anakku dipanggil. Ternyata, datang dan mendaftar  lebih awal tidak menjamin dipanggil duluan. Urutan antrean peserta vaksinasi tergantung selera petugas. Yang baru tiba  bisa    langsung dilayani,   dan yang  mendaftar  belakangan bisa dipanggil lebih awal. Peristiwa  tidak elok ini  bukan yang pertama bagiku, pasalnya pada kegiatan vaksinasi dosis kesatu di awal bulan Juli lalu, aku juga mengalaminya. Esoknya, giliran membawa anakku pun merasakan  perlakuan yang  serupa.  Lanjut divaksinasi dosis kedua di awal Agustus lalu, aku dan kemudian bersama anakku pun mengalami hal yang sama.  Tidak ada yang bisa kulakukan, kecuali hanya menarik nafas dan berusaha memakluminya. Hari ini, kala membawa anak keduaku  untuk vaksininasi dosis pertamanya, pun lagak petugasnya masih seiras, malah kali ini lebih culas. Peserta vaksinasi yang sebelumnya dibatasi hanya seratus orang, hari ini  tumplek blek sampai enam ratus peserta. Alih-alih  protokol

Jangan Sampai Lebih Takut Lihat Polisi Dibanding Penjahat

  Banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh oknum polisi dalam beberapa waktu terakhir ini seolah menegaskan buruknya citra lembaga penegak hukum tersebut. Peristiwa salah tangkap, pelanggaran SOP, brutalisme, kejahatan seksual ,pemeriksaan ponsel warga secara non-prosedural dan non-etis, penersangkaan korban, dan lainnyan sebagainya membuat masyarakat menjadi merinding dan takut berurusan dengan polisi. Sampai-sampai seorang kawan mengatakan jika ia  merasa lebih takut berhadapan dengan polisi daripada penjahat, karena polisi dapat melakukan kejahatan  dengan berlindung dibalik institusi,  hukum dan fasilitas negara.. ” Jangan sekali-sekali deh, buat kejahatan jika tidak mau berurusan dengan penjahat” sindirnya. Deretan Peristiwa seperti penembakan  oleh oknum Ipda OS anggota Polisi Lalu Lintas PJR Polda Metro Jaya dan  kasus aborsi oknum R yang menyebabkan seorang mahasiswa meninggal di  Purwekerto baru baru ini menambah cacatan buruk yang dilakukan  oknum angg

Bandara Tanjung Harapan Jogging Track Favorit

  Sejak  tahun 2000,aku mulai rutin pergi ke bendara  Tanjung Harapan,    saban sore  berkendara motor roda dua menuju bandara kecil yang berada di dekat Taman makam Pahlawan  Tanjung Selor itu. Namun, tujuanku ke bandara itu  bukan untuk berangkat   atau  mengambil paket kiriman yang datang, melainkan untuk olahraga jogging di  runaway  atau landasan pacu bandara. Yup, mungkin ketika itu akulah yang paling rajin jogging di bandara itu.Sampai-sampai beberapa teman memberi gelar ” penunggu bandara”. Kadang jam 2 siang, kala runaway bandara masih sepi,  dengan berbekal jaket parasut dan topi, aku sudah duluan  berlari menikmati panas dan  teriknya cuaca siang hari. Menurutku dan orang-orang ketika itu, runaway ini adalah  tempat yang paling nyaman dan ideal   di Tanjung Selor untuk melaukan aktivitas jogging. Selain treks nya yang lurus dan lebar, landasan ini tempat yang paling aman  untuk jogging, udaranya yang bersih, jauh dari polusi asap knalpot.  Berlari di sini kit