Dinasti politik merupakan cara elit melanggengkan
kekuasaan dengan tujuan menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme
melalui generasi, lingkungan dan pemerintahan yang dikendalikannya
Di Indonesia, lahirnya dinasti politik merupakan
anomali alam demokrasi. Elit politik memanfaatkan sikap permisif rakyat
terhadap politik uang dalam kontetasi
demokrasi.
Kekuasaan yang dikendalikan dinasti politik menciptakan
budaya feodal yang syarat kesewenang-wemangan dan praktik monopoli
atas pemerintahan, anggaran dan sumber daya ekonomi.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
mengungkapkan, dari berbagai kasus korupsi politik di Indonesia, mayoritas
memiliki korelasi dengan dinasti politik.
Ditangkapnya Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan
suaminya anggota DPR RI Hasan Aminuddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Senin, 30 Agustus 2021 lalu dalam kasus jual beli jabatan kepala desa
(Kades) dalam lingkungan Pemkab
Probolinggo Tahun 2021, menegaskan adanya korelasi antara dinasti politik
dengan praktik KKN di pemerintahan.
Landskap dinasti politik pasangan Puput Tabtriana dan Hasan
aminuddin telah dibangun selama 18 tahun. Hasan adalah Bupati Probolinggo
dua periode, 2003-2008 dan 2008-2013. Sebelumnya ia anggota DPRD Kabupaten
Probolinggo periode 1999-2003.
Usai masa tugasnya sebagai bupati berakhir, Hasan kemudian
merengkuh kuasa politik dengan menjadi anggota DPR RI periode 2014- 2019 dan
2019-2024 dari fraksi NasDem, daerah pemilihan Jawa Timur II.
Posisi Hasan sebagai Bupati selanjutnya diteruskan oleh
istrinya sendiri, Puput Tantriana yang berhasil memenangkan Pilkada pada 2013.
Tantriana menjabat pada periode 2013-2018, kemudian terpilih kembali pada
periode kedua 2018 sampai sekarang.
Yang sangat mengkuatirkan dan patut dipertanyakan
adalah objek bancakan yang disasar kedua pasangan tersebut, yakni jual
beli jabatan kades, yang sebenarnya jabatan receh untuk
ditransaksi sebagai persekot korupsi. Dalam struktur
pemerintahan, pemerintah desa dan kelurahan adalah unit terkecil dan
terendah. Seorang kades sesungguhnya
dipilih langsung oleh warganya, dan Ia hanya bertanggung jawab
kepada warganya sendiri melalui Badan Musyawarah Desa. So, bisa dikatakan
menjadikan jabatan kades sebagai komoditas jual beli jabatan adalah tindakan
yang sangat kelewatan. Apalagi hanya jabatan pelaksana
tugas (PLT) yang sifatnya hanya sementara, seraya menunggu dilantiknya kades
terpilih. "Lah, jabatan Plt kades
aja dijualbelikan, bagaimana dengan jabatan lain yang lebih tinggi".
Logika ini bisa jadi sebuah indikasi untuk penegak hukum
mendalami kasus ini
Selain itu, indikasi jual beli jabatan tersebut
lebih mengarah kepada satu pusaran yang lebih besar, yakni membangun dinasti
politik yang lebih kuat, langgeng dan berkesinambungan.
Untuk membangun sebuah dinasti politik dibutuhkan
pejabat-pejabat yang tidak hanya loyal, tetapi juga berani
pasang badan . Masalahnya, hanya orang-orang korup dan gila jabatan yang
berani pasang badan dan bisa dikendalikan oleh sang pemimpin.
Satu-satunya cara untuk mengidentifikasi pejabat-pejabat yang
loyal, yang bisa dikendalikan dan berani pasang badan adalah, dengan
melakukan rekrutmen dan seleksi melalui praktik jual beli jabatan.
Pejabat yang memiliki idealisme dan integritas sudah pasti
tidak akan tergoda membeli jabatan itu, sikap normatif mereka sudah akan
menjadi penghalang jalan oligarki kekuasaan dalam pemerintahan. Kasarnya,
mereka tidak mungkin bersedia menjadi jongos dan kroni sang kepala daerah.
Sebaliknya, orang-orang yang rela membayar untuk jabatan
yang diperjualbelikan, kemungkinan besar adalah mereka yang dapat dikendalikan,
berani pasang badan dan siap melakukan apa pun yang diminta sang
kepala daerah. Selama jabatan mereka aman dan dekat kekuasaan, mereka siap
menjadi kacung sang penguasa.
Praktik jual beli jabatan itu juga biasa menjadi
perangkap kepala daerah agar aparatur pemerintah yang ada terjebak
dalam kepentingan dan kekuasaan sang kepala daerah. Mereka dihadapkan pada
situasi kekuasaan yang begitu kuat di dalam lingkungan pemerintahan, dan situasi
itu mengharuskan mereka mengutamakan kepentingan kepala daerah agar keberlangsungan karier dan masa depan jabatan
mereka tetap terjaga.
Jadi, seandainya logika ini kita gunakan dalam menilai dinasti
politik Bupati Probolinggo yang telah berjalan selama 18 tahun, rasanya tak masuk akal jika hanya jabatan kades saja
yang diperjualbelikan. Lagi pula, jual beli jabatan kades itu diyakini
bukanlah hal baru. Praktik itu dilakukan tahun ini karena
jabatan kades lama berakhir. Sehingga proses rekrutmen perlu dilakukan kembali, agar kades yang terpilih
nanti bukanlah orang- orang yang tidak sejalan dengan dinasti yang
berkuasa.
Dampak Jual Beli Jabatan
Hasil penelitian KASN yang dilakukan sepanjang 2019 di seluruh
provinsi, kabupaten, dan kota, menyebutkan bahwa praktik transaksaksional
pengisian jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten/kota mencapai 95%. Disusul
Pemerintah provinsi di posisi kedua, sebesar 89,5%. Sementara itu,
jual-beli jabatan di lembaga sebesar 49% dan di level kementerian 39,5%.
Data tersebut, menunjukan transaksi jual beli jabatan
lebih rentan terjadi daerah, baik di pemeritah kabupaten maupun
pemerintah provinsi.
Modus
jual beli jabatan selama ini difahami terbatas sebagai perilaku
korupsi dan dampak politik transaksional yang dilakukan kepala derah
akibat mahalnya ongkos kontestasi politik pilkada, padahal motif
lebih dari itu,
jual
beli jabatan merupakan upaya politik kepala daerah untuk membangun
dinasti politik yang lebh terstruktur dan sistematis.
Transaksi
Jual beli jabatan selalu menggoda kepala daerah untuk mempraktikannya. Dampak
politiknya yang sangat besar bagi kelangsungan kekuasaan dan
terciptanya dinasti politik yang didam-idamkan , membuat
mereka mengabaikan dampak buruknya yang terjadi pada
pemerintahan dan masyarkatnya.
Di
satu sisi jual beli jabatan memang memilki pengaruh kuat untuk
memperkuat kekuasaan politik kepala daerah, sebaliknya, di sisi lain,
ia memiliki tingkat kerusakan yang sangat parah bagi masa depan birokrasi dan kehidupan masyarakatnya.
Jual
beli jabatan itu ibarat virus komputer, yang dapat mengganggukeberlangsungan sistem operasi dan
fungsi software di dalamnya. Ia menular dari satu orang ke orang lain. Tindakan
korup jual beli jabatan pasti melibatkan banyak orang dan memerlukan orang lain
dalam modus operandinya. Ia memiliki "multiplier
effect" yang sangat
masif, terstruktur dan sistematik merusak tata kelola pemerintahan dan sendi
kehidupan masyakat. Pejabat yang menggunakan ongkos dari setiap jabatan
yang diperolehnya, sudah barang tentu akan menjual kewenangan yang dimilikinya
kepada pada semua struktur jabatan yang ada di bawahnya, termasuk
memperjualbelikan setiap layanan
pemerintah kepada masyarakat.
Berbeda
dengan korupsi konvensional yang dilakukan atas dasar kebutuhan ekonomi
semata. Ia tidak memerlukan orang lain, malah kalau bisa hanya ia sendiri yang
melakukannya. Dampak yang ditimbulkannya pun terbatas hanya
pada kerugian keuangan saja.
Oleh
karena itu, sekali lagi, KPK dan aparat penegak hukum harus menemukan cara
super ekstra ordinari untuk menghentikan praktik dinasti politik dan jual beli
jabatan dalam pusaran tindak korupsi di negeri ini.
Komentar
Posting Komentar