Dayak Kenyah Dalam Peran Film Klasik Awal Abad 20 “Headhunters Of Borneo
AWAL ABAD 20, tepatnya tahun 1936, meski hidup jauh di pedalaman dan di tengah belantara hutan Kalimantan, ternyata suku Dayak Kenyah telah mengenal seni peran cinematografy .
Ini dapat dilihat dari sebuah film klasik hitam putih karya Victor von Plessen yang berjudul ” The Headhunters of Borneo (Pemburu Kepala di Kalimantan)”. Film yang menggambarkan kehidupan masyarakat asli Borneo pada awal abad dua puluh .
Lokasi pembuatan film ini dilakukan di kampung Peleban (sekarang Long Peleban, wilayah Kabupaten Bulungan). Semua tokoh dilakonkan oleh warga Dayak Kenyah setempat ini, dan berperan untuk dirinya masing-masing. Misalnya, tokoh kepala suku, diperankan oleh sang kepala suku sendiri.
Meski berjudul Pemburu Kepala, film hitam-putih berdurasi 65 menit ini sangat minim menceritakan kisah pemburu kepala (headhunters), malah mirip kisah roman Romeo dan Juliet karya William Shakespeare.
Film berjudul asli” Kopfjaeger von Borneo” ini dinarasi menggunakan bahasa Jerman.Walau dialog para tokoh perannya tidak terlalu dieksplore selama adegan berlangsung, namun paling tidak, pilihan Victor von Plessen atas keterlibatan warga Kenyah Long Peleban dan Long Leju dalam pembuatan film itu seolah menegaskan bahwa orang Dayak Kenyah itu sangat akrab dan terbuka akan dunia seni.
Film ini sendiri mengisahkan lika-liku cinta sejati dua insan dari suku dayak Kenyah yang tinggal di Long Pelaban yaitu Anyi dan Iring, yang terhalang kewajiban dan perjanjian adat.
Berikut sinopsis film Headhunters Of Borneo
Anyi seorang bocah, putera Jalung kepala suku Kenyah di Long Peleban, sebuah kampung di hulu Sungai Kayan wilayah Bulungan, Kalimantan Utara.
Seperti anak laki-laki lain di kampungnya pada masa itu, Anyi kerap menghabiskan banyak waktu bermain dengan anak-anak sebayanya
Sebagai putera seorang kepala suku, Anyi belum terlalu mengerti kelak ia dewasa harus menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala suku Peleban.
Ia berteman dengan siapa saja, tanpa memilih teman.Temasuk bersahabat dengan Iring, gadis kecil anak keturunan orang biasa.
Setiap hari Anyi dan Iring selalu bermain berdua, yang lama kelamaan menumbuhkan rasa sayang dan cinta antara keduanya.
Jalung sang ayah tak terlalu risau dengan kedekatan Anyi dengan Iring. Persahabatan begitu biasa di dunia anak.
Hingga suatu hari terjadi pembicaraan antara utusan warga Peleban dengan orang-orang Long Leju, kampung sebelah. Konflik Peleban dan Long Leju yang sudah terlalu lama, turun-temurun, membuat kedua suku bertetangga ini sepakat mengakhiri perang. Perdamaian terjadi, tanpa syarat. Namun demi memperkuat jalinan persaudaraan, disepakati perjodohan Anyi sebagai anak kepala suku Peleban dengan Aya, anak kepala suku Long Leju.
Perkawinan dua calon pewaris takhta Peleban dan Long Leju ini diyakini akan membuat hubungan dua kelompok suku akan semakin baik di masa depan.
Pesta perayaan perdamaian dihelat di Peleban, mengundang orang-orang Long Leju. Pemujaan kepada dewa dilakukan sekaligus meminta restu roh leluhur. Perjodohan Anyi dan Aya diresmikan dengan perjamuan tari-tarian, makan besar dan minum tuak. Meski pernikahan baru akan dilakukan kelak saat Anyi dan Aya dewasa, Iring si gadis kampung tak bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ia hanya menatap nanar ke arah Anyi yang juga tak kuasa menolak perjodohan itu.
Tak lama setelah perjodohan dan ikrar perdamaian itu, Jalung wafat. Anyi yang masih kecil harus menggantikan ayahnya sebagai kepala suku, meski masih dalam pendampingan tetua adat. Hingga tiba masa cukup usia untuk menikah, Anyi harus menjalankan amanah perjodohan. Sebuah pesta besar-besaran menandai pernikahannya dengan Aya – walau hatinya jelas tak bisa lepas dari Iring. Pernikahan itu tak lebih dari formalitas adat.
Demi menyelamatkan cinta sejatinya, Anyi memilih melarikan Iring. Dengan mendayung perahu bersama-sama keduanya pergi ke arah hulu dan mencari tempat persembunyian. Anyi masih rutin pulang ke Peleban, menjalani pernikahan dengan Aya dengan penuh kepura-puraan – sekadar demi menjalankan kewajiban adat. Cinta dan perhatiannya hanya untuk Iring seorang.
Aya, istri sah Anyi yang mengetahui perselingkuhan itu pun mengutus seorang pemuda untuk membunuh suaminya yang berkhianat itu. Pembunuh ini digambarkan sebagai “pemburu kepala”. Ia membuntuti Anyi dalam perjalanan ke tempat persembunyian Iring di tengah hutan.
Namun kesaktian Anyi yang dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan Dayak membuat situasi berbalik. Tepat saat eksekusi hendak dilakukan si pemburu kepala, Anyi sadar dan bertindak cepat mencabut senjata. Tragis, justru pemburu kepala itu yang tewas di tangan Anyi. Ia tebaskan mandaunya di hadapan Iring yang hanya bisa menyaksikan peristiwa itu dengan menutup wajah ketakutan.
Terbunuhnya sang pemburu kepala dan terungkapnya skandal Anyi dan Iring membuat Anyi disidang oleh tetua adat. Ia diputuskan bersalah. Anyi sebagai kepala suku harus menghukum dirinya sendiri dengan hukuman sangat berat: meninggalkan Peleban.
Anak kepala suku Jalung ini terusir dari kampung di mana dia secara turun-temurun berhak menjadi raja – demi martabat adat di satu sisi, dan mempertahankan cintanya di sisi yang lain. Iring ikut bersamanya, mengiringi Anyi pergi merajut hidup baru. Berbeda dengan kisah cinta karya William Sakhespeare yang berujung tragedi, Romeo-Juliet versi Dayak ini berakhir dengan happy ending.
Victor von Plessen
Baron Victor von Plessen (1900-1980) membuat film ini pada tahun 1936. Ia merekam sendiri semua adegan film dengan kamera tangan dan perlengkapan yang terbatas.
Plessen yang berlatar belakang peneliti memang memiliki ketertarikan sangat besar pada kehidupan masyarakat adat Nusantara pada masa itu. Sebelum membuat film mengenai Kalimantan ini, ia sudah lebih dulu memproduksi film mengenai adat masyarakat Bali, berjudul Insel der Darmonen (The Island of Demons) pada tahun 1933.
The Headhunters of Borneo menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana kondisi alam Borneo yang masih perawan, dengan hutan hujan tropis yang lebat, sungai-sungai lebar dan binatang yang kini sudah langka seperti macan dahan dan burung enggang. Penduduk Peleban dan Long Leju pun direkam apa adanya, dengan pakaian mereka sehari-hari di mana pria dan perempuan dewasa sama-sama bertelanjang dada.
Plessen dengan bersemangat mengangkat kekayaan lokal orang Dayak seperti tradisi tato, keahlian berburu dengan sumpit dan tombak, kepiawaian mengarungi jeram dengan perahu, tradisi menanam padi gunung, ketaatan pada adat dan ritual, serta pesan-pesan kebijakan tentang harga diri dan keberanian.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Label
Budaya- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar