MONOLITIK ADVETORIAL DAN PERUSAHAAN PERS
Seorang wartawan sekaligus pemilik media online mendatangi bagian humas salah satu pemerintah Kabupaten di Kalimantan. Ia hendak menagih pembayaran advetorial pemeritah daerah (pemda) yang diterbitkan di media online yang dimiliknya.
Ternyata, Kepala Bagian Humas yang baru menjabat dua bulan itu menolak membayarnya, Ia berdalih tagihan media online tersebut bukanlah media yang berbadan hukum/ perusahaan pers, seperti yang di atur dalam Undang Undang Pers.
Padahal, pembayaran advetorial media online yang dikelola perusahaan non pers lumrah dilakukan pejabat humas sebelumnya dan di beberapa pemda lainnya. Sepanjang ada kontrak atau media order, ada badan usaha atau badan hukum, advetorial itu boleh dibayarkan.
Memang belakangan ini, beberapa pemda mulai selektif menjalin kerjasama penerbitan advetorial di sejumlah media. Hanya media yang berbadan hukum pers dan terverifikasi oleh Dewan Pers yang dibolehkan mendapat kontrak advetorial.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan itu. Tidak pula penting, apakah itu atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau atas permintaan asosiasi perusahaan pers sendiri.
Yang salah dan mungkin juga penting adalah merubah pemahaman dan praktik kita soal advetorial itu. Persepsi usang kita selama ini, seolah iklan dalam bentuk berita dan cerita itu hanya monolitik advetorial saja. Hanya boleh disiarkan oleh perusahaan pers saja. Pemesannya identik hanya pemerintah dan BUMN/BUMD saja.
Sampai-sampai dalam sebuah tulisan seorang wartawan lokal, menyebut advetorial itu sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada perusahaan pers saja. Sebuah pernyataan sangat naif, dangkal dan arogan.
Padahal, advetorial itu tak lebih hanya sebuah iklan. Ia produk bisnis media massa, sama dengan space iklan lainnya yang dijual perusahaan pers untuk membiayai operasional perusahaan.
Ingat, fokusnya bukanlah produksi dan aktivitas siaran beritanya, tapi pada produk dan siaran iklan tersebut.
Memang, advetorial sering diasosiasikan sebagai produk iklan media massa . Kata advetorial dianggap istilah yang tepat untuk iklan yang bertujuan membangun citra suatu organisasi termasuk menjaga citra media pers itu sendiri.
Disatu sisi, ia menjadi rekayasa realitas jurnalistik bagi pemerintah dan korporat, disisi lain ia dikesankan tetap melindungi independensi media pers yang memuat ikan tersebut. Oleh mereka, advetorial sering tidak diakui sebagai produk jurnalistik.
Perpaduan kata " advertising dan editorial" menjadi advetorial terasa kuat untuk menopengkan kepentingan kapitalis media bahkan penguasa dalam sebuah perusahaan pers. Produk iklan yang berbayar seolah-olah menjadi produk berita yang sarat dengan realitas. Makanya, jangan heran jika melihat halaman koran perusahaan pers di daerah-daerah, hampir semua halamannya dikontrak oleh pemda setempat sebagai iklan advetorial, meski di halaman advetorial itu tidak disebut atau dilabeli sebagai advetorial.
Masyarakat pun tak bisa lagi membedakan yang mana iklan dan yang mana berita. Yang mana realitas publik dan yang mana realitas bisnis media.
Media pers ibarat sebuah etalase iklan dan katalog kepentingan pemilik modal dan penguasa. Praktik ini dianggap lumrah, mungkin sebagai apresiasi pemerintah daerah kepada perusahaan pers, atau " ketergantungan" perusahan pers kepada pemerintah.
Aktivitas konvensional dan tidak profesional tersebut sepantasnya segera ditinggalkan, khususnya oleh pemerintah daerah dan perusahaan pers itu sendiri. Kontrak halaman di koran dan majalah, atau kontrak kepada media online tanpa mempertimbangkan kinerja media itu, adalah prilaku menghambur-hamburkan uang rakyat demi menyenangkan atau menggemukan perut pemilik media di daerah.
Refleksinya sangat sederhana, cukup memahami keniscayaan new media atau media baru, yang dengan cepat mendisrupsi eksistensi media konvensional saat ini.
Sebagai buah dari kemajuan teknologi digital, media baru seperti media online, media sosial dan platform internet lainnya telah merubah budaya dan praktik-praktik kita dalam memperlakukan informasi.
Tiap individu kini memiliki akses yang lebih mudah dalam menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali, mendistribusikan bahkan mendiseminasi informasi kapan pun, di mana pun dan kepada siapapun tanpa melalui mediasi otoritas tertentu.
Aturan-aturan lama tidak lagi relevan menata laksana praktik-praktik digitalisasi kita dalam memproduksi dan mentransaksikan informasi tersebut.
Kenapa dahulu banyak koorporat memasang iklan di televisi, koran, radio dan majalah? Kini, hadirnya media baru yang lebih menawarkan kecepatan, viralitas, jangkauan audiens yang relatif besar dan kemampuan berinteraksi yang lebih baik, membuat belanja iklan mereka mulai beralih ke media baru.
Format Iklan video tidak hanya monopoli televisi saja, ada platform video on demand, youtube dan media sosial lainnya. Iklan teks dan gambar tidak hanya dimuat di koran dan majalah, semakin banyak media online dan media sosial yang menerbitkannya. Begitu pula iklan radio, podcast dan radio streaming bisa menjadi pilihan.
Kelebihan media baru, salah satunya menyediakan fitur data analitik yang lengkap untuk mengetahui kinerja iklan secara real time. Kesempurnaan fitur yang tidak dimiliki oleh media konvensional.
Jangkauan yang lebih luas tidak terbatas sekat-sekat geografis, memilih target audien yang relevan, biaya lebih realistis dan dapat disesuaikan, bisa dimonitor 24 jam, merupakan kelebihan lain yang dimiliki media baru.
Terkaitbelanja iklan pemda misalnya, tidak perlu lagi menggunakan sistem kontrak halaman. Yang dibayar adalah kemampuan dan kinerja media dalam mengotimasi advetorial tersebut. Pemda cukup membayar tingkat keterbacaan atau tingkat interaksi advetorial yang diterbitkan. Misalnya, dengan model pay per impression (CMP), pay per click, pay per read, pay per play dan lain sebagainya.
Pemda juga dapat mempertimbangkan menggunakan platform peringkat website, seperti Alexa Rank, Moz Pro, Pro Rank Tracker dan lainnya, untuk melihat kinerja media sebelum memutuskan media mana yang digunakan sebagai mitra penerbit advetorial pemda .
Nantinya, media yang memuat advetorial tersebut tidak hanya sekedar menyiarkan saja tapi ada tanggung jawab untuk mengoptimasi iklan advetorial itu agar bisa menjangkau masyarakat secara luas.
Maka itu, aktivitas dan kreatifitas siaran iklan di media seharusnya tidak lagi dibatasi oleh bentuk badan hukum media itu, tapi lebih kepada sejauh mana efektifitas media itu menjangkau audiens yang lebih luas dan membuat interaksi bahkan impresi yang lebih optimal.
Terminologi soal iklan yang nararatif, informatif, argumentatif, ekploratif dan persuasif itu tidak melulu soal advetorial saja, bisa jadi bentuk iklan yang lain sesuai dengan tujuan dan kebutuhan user-nya.
Jika perusahaan media non pers atau bagian humas pemda tidak ingin terikat dengan definisi advetorial tersebut, fleksibel aja untuk menggunakan istilah iklan lainnya. Misalnya, story ads, native ads, news ads, media ads, atau apapun namanya.Yang penting tidak ada sekat-sekat antara perusahaan pers dan non pers, dalam menayangkan iklan tersebut.
Tommy Manggus
Komentar
Posting Komentar