Langsung ke konten utama

Postingan

PERUSDA, AKHIR DOSA TURUNAN

Bangkrut dan merugi sepertinya menjadi  dosa turunan  yang terus menggerogoti sejumlah perusahaan daerah (Perusda)  di berbagai daerah.  Mismanajemen atau tata kelola yang carut marut masih  menjadi biang dari persoalan inefisiensi dan  kecurangan (fraud) di tubuh Perusda.  Direksi yang tidak profesional, etos kerja yang buruk, terlalu birokratis, kurang memiliki orientasi pasar, tidak transparan, serta sarang korupsi, merupakan stigma buruk yang melekat kepada  Perusda selama ini Pada dasarnya,  tujuan dibentuknya   Perusda atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)  adalah untuk memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah, membantu pemerintah daerah  dalam pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan pasar, turut membantu pengembangan usaha kecil dan menengah, dan tentunya berfungsi sebagai salah satu penyumbang bagi penerimaan daerah, baik dalam bentuk pajak, dividen, maupun hasil privatisasi. Hal ini juga  ditegaskan dalam   Peraturan Pemerintah (PP) 54 tahun 2017 tentan

Jurnalis Warga Yang Termarjinalkan

Apakah hanya wartawan atau mereka yang punya kartu pers  yang terampil dan  dibolehkan membuat berita? Perkembangan teknologi digital dan hadirnya media baru telah  mengubah  budaya   dan praktik-praktik kita dalam memperlakukan informasi.  Tiap individu kini memiliki akses yang lebih mudah dalam menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali, mendistribusikan bahkan mendiseminasi informasi kapan pun, di mana pun dan kepada siapapun tanpa melalui mediasi otoritas tertentu. Contohnya, banyak teman-teman yang memiliki minat kemampuan dan keterampilan  membuat berita, mengolah dan mendistribusikannya. Tapi minat, kemampuan  keterampilan itu sering kali kandas karena adanya anggapan bahwa orang  yang harus mengelolah informasi dan berita itu haruslah orang-oranh  pers, punya kartu wartawan, punya media massa dan lain sebagainya.  Anggapan inilah yang harus diubah oleh APWI bahwa semua orang berhak membuat,  mengelola,  mendistribusikan dan mengtransaksikan  informasi yang  penting dan b

SIMBOL NASIONALISME TAK SEINDAH TELADAN PEMIMPIN

SIMBOL NASIONALISME DAN KETELADANAN Memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76, seorang kepala daerah di Kalimantan,  menghimbau kepada masyarakatnya  untuk   mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing sesuai dengan "Jumlah Anggota Keluarga".  "Ini salah satu bentuk kecintaan kita terhadap negara sehingga harus disosialisasikan agar dapat tertanam di dalam benak masyarakat" kata sang kepala daerah saat itu. Beragam reaksi pun  bermunculan, ada yang menjadikannya olok-olok dan candaan, banyak pula   yang meresponya dengan  nyinyiran dan kritikan. "Dipertanyakan,  relevansi     jumlah bendera yang dipasang    dengan   rasa  nasionalisme  warga  negara?". "Bayangkan! jika  sebuah warteg kecil  yang memiliki lima orang anggota keluarga,  harus  memasang lima bendera di depan wartegnya.  Tidakkah itu menjadi beban, dan   membuat warteg itu tertutup  oleh bendera dan tiang-tiangnya". Oleh sebagian warga

2 MILYAR SAJA

"Kami sangat berterima kasih atas bantuan bapak" kata pak RT kepada ku.  "Bantuan 2 milyar ini, akan sangat  bermanfaat vbuat warga.Apalagi dalam kondisi susah begini,, pak" lanjut pak RT sambil  memevycgang selembar cek  yang kuberikan tadi. "Sekali lagi...terima kasih atas  bantuan pak Tomy"  Y Aku hanya mendengar, membiarkan  setiap katkeluar dari mulutnya. Sesekali  aku  tersenyum dan meπŸ’›πŸ’™πŸ’š,,,,,,,, zx gngangguk-angguk, seolah mengiyakan omongannya. "Sama Sama Pak" jawabku. Kubuat suaraku  seberat mungkin agar terdengar berwibawa. "Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pak RT yang telah men erima dan bersedia menyalurkan bantuan ini kepada warga disini" "Terus terang, saya merasa lega...bisa mewujudkan  wasiat  orang tua  saya ini" sambungku lagi. Setelah semua pembicaraan  yang penuh basa basi, dan puja puji itu selesai.  Aku segera  pamit pulang. Ada perasaan puas  dalam diriku. Ya, aku  sangat  puas nge- a

LEMAH MANUSIA KUATNYA VIRUS

Usaha itu tidak mengkhianati hasil. Itulah kalimat  yang tepat  untuk menggambarkan kerja keras kaumku selama ini, yang terus berusaha agar dapat bermutasi menjadi virus Corona yang kuat, ganas dan mematikan.  Sebelumnya,  kaumku hampir  musnah dan punah. Tubuh manusia terlalu kuat dan sehat bagi kaumku, Setiap kali mereka  masuk ke tubuh manusia untuk berkembang biak, seketika itu juga mereka  mati menjadi bangkai. "Bagaimana progress gerakan pasukan kita, mayor ?" tanyaku kepada  komandan divisi kembang biak dan  pemutasian yang ada di hadapanku. "Siap, Yang Mulia!" jawabnya tegas. "Progressnya sangat positif dan mengembirakan. Kekuatan kaum kita semakin meningkat 1000 persen dalam 10 tahun ini. Mereka semakin ganas dan beringas, Yang Mulia.". Aku  bangga mendengar penjelasannya. Bagiku ini sangat luar biasa. Peluang hidup kaumku  di bumi ini akan semakin besar, semakin kuat dan semakin ganas.  "Apa yang menyebabkan semua itu, mayor"

Demarjinalisasi Jurnalis Warga

Apakah hanya wartawan atau mereka yang punya kartu pers  yang terampil dan  dibolehkan membuat berita? Perkembangan teknologi digital dan hadirnya media baru telah  mengubah  budaya   dan praktik-praktik kita dalam memperlakukan informasi.  Tiap individu kini memiliki akses yang lebih mudah dalam menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali, mendistribusikan bahkan mendiseminasi informasi kapan pun, di mana pun dan kepada siapapun tanpa melalui mediasi otoritas tertentu. Contoh banyak teman teman yang memiliki minat kemampuan dan keterampilan  membuat berita, mengolah dan stribusikannya. Tapi minat, kemampuan  keterampilan itu sering kali kandas karena ada anggapan bahwa orang  yang harus mengelolah informasi dan berita itu haruslah pers, punya kartu wartawan, punya media,dan lain sebagainya.  Anggapan inilah yang harus diubah oleh APWi bahwa semua orang berhak membuat,  mengelola,  mendistribusikan dan mengrtransaksikan  informasi yang  penting dan bermanfaat buat masyarakat. Mar

GENERASI YANG BERADAPTASI DENGAN KEUTAMAAN ZAMAN MEREKA SENDIRI

Generasi Yang Beradaptasi Dengan Keutamaan Zaman Mereka Sendiri Hari itu,  istriku mengatakan ia   akan ke sekolah anak-anakku untuk mengambil rapot kenaikan kelas   mereka. Terus terang, aku  sempat merasa aneh  ketika  mendengar kalimat "kenaikan kelas " dari mulutnya. Aku tercenung, dalam hati berkata " Gak salah ni, anak-anak sudah kenaikan kelas lagi?",  sambilku  mengingat-ingat    aktivitas belajar anak-anaku   dalam setahun ini. Tahun lalu, kejadiannya hampir sama. Meski hanya dua bulan  saja mereka belajar dan ujian dari rumah. Bukan aku meragukan  soal nilai dan kemampuan belajar mereka. Aku sangat tahu, karena saban hari   aku yang mendampingi    mereka belajar  di rumah. Bagaimana mereka menyelesaikan  tugas    dan  mengerjakan  setiap ujian sendiri . Intinya, tidak ada masalah  dengan nilai dan kemampuan belajar mereka di rumah.  Siswa yang tidak pernah ke sekolah kemudian naik kelas apalagi sampai dapat  rangking, dalam dalam pandanganku ka